GAZA – Kelompok bersenjata Hamas kembali memantik kontroversi setelah merilis video yang menunjukkan delapan pria diikat, ditutup matanya, dan dieksekusi di tengah jalan. Tindakan brutal itu disebut sebagai bagian dari kampanye melawan geng dan klan kriminal di Jalur Gaza pascagencatan senjata dengan Israel. Namun, alih-alih menegakkan hukum, aksi tersebut justru menegaskan kekuasaan bersenjata yang berjalan tanpa kendali hukum.
Video berdurasi beberapa menit itu disiarkan melalui saluran Telegram al-Aqsa TV milik Hamas pada Senin malam. Dalam unggahan tersebut tertulis: “Perlawanan melaksanakan hukuman mati terhadap sejumlah kolaborator dan penjahat di Kota Gaza.” Tayangan ini segera menyebar luas di media sosial, menimbulkan gelombang reaksi keras dari publik dan pemerhati hak asasi manusia.
Gambar-gambar yang memperlihatkan para pria bersenjata menembak korban dari jarak dekat di hadapan kerumunan warga menimbulkan pertanyaan besar: apakah Gaza sedang memulihkan ketertiban atau justru menormalisasi kekerasan di ruang publik?
Kelompok hak asasi manusia Palestina pun angkat suara. Komisi Independen untuk Hak Asasi Manusia (ICHR), lembaga yang dibentuk Otoritas Palestina sejak 1993, menegaskan sikap keras mereka. Dalam pernyataan resminya, ICHR menuntut “diakhirinya eksekusi di luar hukum dan sewenang-wenang di Jalur Gaza.”
Mereka menegaskan, “Gelombang eksekusi di luar hukum dan penembakan di kaki yang terjadi setelah gencatan senjata di Jalur Gaza tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun,” serta menambahkan, “Kejadian tersebut merupakan kejahatan hukum dan moral yang membutuhkan kecaman dan pertanggungjawaban segera.”
Namun, di sisi lain, aparat keamanan Hamas tampak berupaya meyakinkan publik bahwa tindakan itu sah secara moral dan strategis. Seorang pejabat keamanan Hamas kepada AFP Rabu (15/10/2025) menyebut bahwa unit baru yang disebut Pasukan Penangkalan tengah melaksanakan “operasi lapangan berkelanjutan untuk memastikan keamanan dan stabilitas.” Ia menegaskan, “Pesan kami jelas: Tidak akan ada tempat bagi penjahat atau mereka yang mengancam keamanan warga negara.”
Pernyataan itu terdengar tegas, tetapi sekaligus menyingkap bahaya yang lebih dalam. Dalam konteks Gaza, di mana sistem hukum sipil telah lama lumpuh dan lembaga yudisial berada di bawah kendali faksi bersenjata, “penegakan hukum” yang dilakukan dengan peluru justru mencerminkan hukum rimba.
Banyak warga Gaza yang diwawancarai AFP mengaku mendukung langkah Hamas karena merasa perlu adanya ketertiban setelah dua tahun perang dengan Israel. Namun dukungan itu lebih menyerupai keputusasaan daripada kepercayaan. Ketika negara dan sistem hukum gagal, masyarakat kerap berpegang pada siapa pun yang tampak mampu mengendalikan kekacauan meski dengan darah sesama warga sendiri.
Kritikus menilai, tindakan Hamas itu juga memiliki motif politik. Setelah kehilangan banyak legitimasi akibat perang yang menelan ribuan korban sipil, Hamas berusaha menampilkan citra sebagai “penjaga keamanan publik.” Dengan mengeksekusi “penjahat” di depan umum, mereka mencoba menegaskan kekuasaan penuh atas Gaza dan menakuti siapa pun yang berpotensi melawan.
Namun pertanyaannya tetap menggantung: apakah keadilan benar-benar ditegakkan bila senjata menjadi hakim? Hukuman mati tanpa proses hukum bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi juga ancaman bagi peradaban dan prinsip dasar kemanusiaan yang selama ini diklaim diperjuangkan Hamas.
Dalam konteks ini, eksekusi jalanan di Gaza bukan hanya tragedi bagi delapan pria yang dibunuh tanpa pengadilan, melainkan juga simbol dari Gaza yang kian terperangkap dalam lingkaran kekerasan tanpa hukum. Jika kekuasaan bersenjata menjadi satu-satunya cara mengatur masyarakat, maka perlawanan yang dulu diklaim sebagai perjuangan pembebasan kini berubah menjadi penindasan baru di bawah panji yang sama. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan