JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merespons serius polemik status empat pulau di perbatasan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) dengan menyiapkan kajian ulang secara menyeluruh. Langkah ini diambil menyusul meningkatnya reaksi publik terkait keputusan administratif yang menempatkan pulau-pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyampaikan bahwa kajian tersebut akan dipimpin langsung oleh Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi, dan dijadwalkan digelar pada Selasa, (17/06/2025). “Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi akan melakukan kaji ulang secara menyeluruh pada hari Selasa, tanggal 17 Juni 2025,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (13/06/2025).
Menurut Bima, perhatian penuh dari pemerintah pusat terhadap sengketa tapal batas ini sangat penting, mengingat ketegangan antara dua provinsi telah berlangsung cukup lama dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. “Sengketa ini sudah berlangsung lama dan saat ini menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat yang harus disikapi dengan cermat dan penuh kehati-hatian,” tegasnya.
Bima juga menekankan bahwa pendekatan terhadap persoalan wilayah ini tidak dapat didasarkan hanya pada aspek geografis. Pemerintah, menurutnya, harus turut mempertimbangkan unsur historis dan nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat setempat.
“Penyelesaian persoalan ini memerlukan data dan informasi yang akurat dan lengkap dari semua pihak terkait. Penting untuk tidak saja melihat peta geografis tetapi juga sisi historis dan realita kultural,” katanya.
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Keempatnya sebelumnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, namun dalam keputusan terbaru Kemendagri telah dialihkan menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Keputusan administratif itu memantik protes dari sejumlah kalangan di Aceh, yang merasa wilayah mereka telah dipindahkan tanpa proses konsultasi yang memadai. Ketegangan pun meningkat seiring kekhawatiran masyarakat akan hilangnya identitas lokal dan hak administratif atas sumber daya di pulau-pulau tersebut.
Situasi ini menunjukkan pentingnya proses penataan wilayah yang tidak sekadar berlandaskan pada dokumen formal dan batas peta, tetapi juga mempertimbangkan keterlibatan masyarakat serta latar belakang sosial dan historis yang menyertainya. Langkah kajian ulang dari Kemendagri diharapkan mampu menghadirkan solusi yang adil, transparan, dan dapat diterima semua pihak, guna menjaga keutuhan wilayah nasional tanpa mengorbankan kearifan lokal. [] Admin03