Fadli Zon Sebut Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor, Publik Geram

JAKARTA – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan terjadinya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 memicu kecaman luas dari berbagai kalangan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk pengingkaran sejarah yang bisa menggembosi semangat kebangsaan. Dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia dan sejumlah organisasi hak asasi, Jumat (13/06/2025), Andy menyatakan bahwa penyataan Fadli Zon ibarat menyiram bensin ke dalam api kebencian berbasis ras dan etnis.

Andy menegaskan pentingnya penulisan sejarah yang jujur untuk mencegah terulangnya kekerasan. Ia mengutip hasil pemantauan Komnas Perempuan sepuluh tahun setelah tragedi, yang menunjukkan bahwa banyak korban bungkam karena trauma, tekanan sosial, dan budaya menyalahkan korban. Ia juga menyayangkan sikap negara yang ambigu terhadap tragedi tersebut, meskipun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah menyimpulkan adanya kekerasan seksual sistematis dan keterlibatan aparat.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa pernyataan Fadli Zon adalah kekeliruan fatal dan menyesatkan publik. Ia merujuk pada kesimpulan TGPF yang mengungkapkan bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi, termasuk 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus dengan penganiayaan, dan sejumlah pelecehan seksual. Usman menyebut bahwa delapan rekomendasi TGPF belum ditindaklanjuti, termasuk perlindungan bagi korban yang hingga kini banyak tinggal di luar negeri.

Peneliti sejarah Ita Fatia Nadia menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk dusta publik yang menyakiti penyintas. Ia mengingatkan bahwa Presiden BJ Habibie secara resmi telah mengakui kejadian pemerkosaan massal pada Oktober 1998, berdasarkan laporan yang diserahkan oleh para tokoh perempuan. Pengakuan itu menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan.

Sementara itu, Tuba Falopi dari FAMM Indonesia, yang merupakan penyintas kekerasan seksual, menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk pengabaian negara terhadap pelanggaran HAM. Ia menilai negara tidak serius menyelesaikan kasus ini dan malah menutup mata atas penderitaan korban. Diyah Wara Restiyati dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia juga menyampaikan kekecewaannya, karena masyarakat Tionghoa, menurutnya, masih diabaikan dalam sejarah Indonesia.

Pernyataan Fadli yang menyebut pemerkosaan massal sebagai rumor disampaikan dalam wawancara pada awal Juni 2025. Ia bahkan mempertanyakan bukti peristiwa tersebut dan menyebut sejarah seharusnya memiliki nada yang menyatukan bangsa. Namun, pernyataan itu dinilai banyak pihak sebagai bentuk penyangkalan atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan memperpanjang luka kolektif bangsa. []

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X