JAKARTA – Di balik sorotan publik terhadap penggunaan surat berkop kementerian oleh pejabat tinggi, terselip kisah para staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang bekerja dalam tekanan tak tertulis. Mereka mengaku kerap diminta melayani keluarga pejabat, meskipun permintaan itu tak berhubungan dengan tugas resmi kenegaraan.
“Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI,” ujar salah satu staf KBRI kepada BBC News Indonesia, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Para staf menceritakan, tekanan semacam ini bukan hal baru. Beberapa bahkan menganggapnya telah menjadi bagian dari “kebiasaan kerja” selama bertahun-tahun. Dalam banyak kasus, mereka harus menemani keluarga pejabat berbelanja, berjalan-jalan, hingga makan malam, bahkan di luar jam kerja dan dengan menggunakan kendaraan dinas.
“Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia. Jadi ya apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri,” kata salah seorang staf KJRI.
Masalah ini kembali mengemuka setelah beredar surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025. Surat tersebut berisi permintaan pendampingan istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini, dalam misi budaya ke tujuh negara di Eropa. Publik mempertanyakan keabsahan surat bertanggal 30/06/2025 itu, mengingat kegiatan yang disebut bukan bagian dari tugas resmi negara.
Menteri UMKM Maman Abdurrahman membantah pernah memerintahkan pembuatan surat tersebut. Ia menjelaskan bahwa istrinya bepergian untuk menemani anak mereka dalam kegiatan budaya sekolah, tanpa menggunakan dana atau fasilitas negara.
Di sisi lain, para staf KBRI mengaku kerap mencari cara agar dana jamuan bisa dilaporkan sebagai kegiatan resmi, demi menutupi aktivitas yang sesungguhnya hanya menjamu keluarga pejabat. “Padahal demi menjamu pejabat,” ujar salah satu staf.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Bivitri Susanti, mengingatkan bahwa penggunaan kop surat kementerian bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan bentuk perintah. “Mereka enggak bisa berdalih ini sebenarnya cuma pemberitahuan aja seperti fyi gitu. Karena penggunaan kop surat itu sebenarnya sudah mengandung perintah kalau kita bicara lembaga pemerintahan,” tegas Bivitri.
Menurut Bivitri, budaya feodalisme di kalangan pejabat negara menjadi akar masalah yang membuat praktik ini tetap terjadi. Ia menilai pernyataan Menteri UMKM yang menyebut tidak tahu-menahu soal surat justru memperkuat budaya “katebelece” yang menyalahgunakan jabatan.
Ahli hukum administrasi negara dari UGM, Oce Madril, menyatakan bahwa pelayanan kepada pejabat di luar tugas negara berpotensi membebani anggaran dan sumber daya KBRI. “Menemani belanja dan mengantar ke sana kemari 24 jam, itu sudah pasti memberatkan,” jelasnya.
Oce menegaskan perlunya instruksi tegas dari Presiden, termasuk prosedur baku dan larangan tertulis, agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menegaskan bahwa Perwakilan RI hanya akan memberikan fasilitasi jika kunjungan dilakukan dalam rangka tugas resmi kenegaraan. “Bentuk bantuan yang diberikan tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan kedinasan dan dalam koridor kewajaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelas Rolliansyah.
Namun selama sistem belum berubah dan tekanan tidak ditekan dari atas, para staf KBRI dan KJRI tetap berada dalam posisi sulit: tunduk pada perintah, sekalipun melampaui tugas pokok dan fungsinya.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan