TARAKAN – Ketegangan antara warga Juata Permai dan PT Phoenix Resources International (PRI) kian memanas setelah negosiasi terkait ganti rugi dugaan pencemaran limbah kembali menemui jalan buntu. Warga menuntut ganti rugi sebesar Rp500 ribu per meter atas lahan yang terdampak, namun perusahaan justru menawarkan negosiasi ulang dengan melibatkan pihak ketiga untuk menentukan harga yang disebut “adil.”
Alih-alih menenangkan situasi, langkah perusahaan itu justru dinilai warga sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab atas dugaan pencemaran yang telah merusak lahan dan lingkungan sekitar. Warga menilai perusahaan mencoba menunda penyelesaian masalah tanpa menunjukkan itikad baik untuk memulihkan kerugian warga.
Perwakilan PT PRI, Eko, menegaskan pihaknya tidak akan memaksa membuka akses jalan yang telah ditutup warga, melainkan akan mencari jalur alternatif agar operasional tetap berjalan. “Silakan ditutup, kami akan menggunakan jalan alternatif selagi bisa menghidupkan operasional dan kami akan bertahan di lahan yang sudah kami beli,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
Pernyataan itu memicu reaksi keras warga. Mereka menilai sikap perusahaan arogan dan abai terhadap dampak sosial yang ditimbulkan. Warga khawatir penggunaan jalan baru hanya akan memperburuk pencemaran karena jalur pembuangan limbah belum dibenahi.
Korlap aksi, Yupdhi Situmorang, menegaskan, “Jadi akan kami tutup jalan baru mereka dan kami meminta pipa dari limbah agar dicopot.” Menurutnya, tindakan warga bukan tanpa alasan, melainkan bentuk perlindungan terhadap lingkungan tempat tinggal mereka yang sudah lama tercemar.
Yupdhi juga menolak keras tawaran negosiasi ulang dari perusahaan. Ia menegaskan bahwa tuntutan warga sudah final dan tidak akan diturunkan. “Mereka yang mau beli lahan, baru kami yang mau mengikuti harga mereka, itu seperti apa, mereka tidak memikirkan kerugian kami selama ini yang kami tidak tuntut,” ujarnya.
Namun, dari pihak perusahaan, pernyataan berbeda kembali disampaikan. Perwakilan PT PRI lainnya, Kadir, mencoba meredam situasi dengan menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah memaksa warga mengikuti harga yang ditawarkan. “Mereka kan meminta harga Rp500 ribu per meternya, namun tidak menemukan titik temu, jadi supaya harganya netral itu melalui impresal, karena pemerintah sudah sampaikan dengan impresal bisa saja harganya lebih tinggi,” ujarnya.
Meski demikian, penjelasan itu dianggap warga sebagai bentuk mengalihkan isu utama: pencemaran lingkungan. Bagi mereka, nilai kompensasi bukan sekadar soal harga tanah, melainkan bentuk tanggung jawab moral perusahaan terhadap kerusakan yang mereka alami.
Hingga malam hari, warga masih bertahan di lokasi. Mereka bertekad melanjutkan aksi hingga pemerintah turun langsung ke lapangan dan memastikan kesepakatan yang berpihak pada warga, bukan semata pada korporasi.
Kondisi ini memperlihatkan lemahnya peran pemerintah daerah dalam mediasi konflik industri dan masyarakat. Ketika perusahaan bisa tetap beroperasi meski dituding mencemari lingkungan, sementara warga harus menutup jalan demi memperjuangkan haknya, pertanyaannya sederhana: di mana letak keadilan bagi rakyat kecil? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan