Gaza Hidup dalam Kematian

GAZA — Dari udara, Jalur Gaza tampak seperti kota yang telah kehilangan maknanya sebagai tempat tinggal manusia. Rekaman drone memperlihatkan lanskap yang nyaris tak berwarna, hanya debu, abu, dan dinding hangus yang menyisakan jejak tragedi panjang. Dulu, suara dengung drone menjadi tanda bahaya, kini justru menjadi saksi bisu kehancuran yang tidak lagi bisa dibedakan antara rumah, jalan, dan reruntuhan.

Selama bertahun-tahun, Gaza menjadi medan yang paling sering dijanjikan untuk “dibangun kembali”. Namun kini, janji itu terdengar seperti ironi ketika seluruh blok kota hancur menjadi puing. Jalan-jalan yang dulu dipenuhi kehidupan kini berubah menjadi hamparan abu, seolah waktu berhenti di tengah reruntuhan. Dalam video berdurasi panjang yang diunggah lembaga kemanusiaan, terlihat bangunan roboh dan debu pekat menutupi udara. Gaza kini menyerupai lanskap apokaliptik yang bahkan sulit dipercaya masih dihuni manusia.

Kegembiraan singkat ketika gencatan senjata diumumkan pada awal Oktober 2025 kini sirna, berganti dengan rasa hampa dan duka mendalam. Ribuan warga kembali ke rumah mereka dengan harapan menemukan kehidupan yang tersisa, tetapi yang mereka jumpai hanyalah kehancuran.

Umm Firas, warga Khan Younis, menjadi satu di antara mereka yang kembali setelah lima bulan mengungsi. Namun yang ditemuinya bukan lagi rumah, melainkan dataran kosong yang diselimuti puing. “Pagi ini kami kembali ke tanah air kami untuk melihat rumah kami, lingkungan tempat kami dulu tinggal,” kata Umm Firas kepada Sky News, Minggu (12/10/2025). “Tetapi kami tidak menemukan jejak rumah, jalan, lingkungan, atau pepohonan. Bahkan tanaman, bahkan pepohonan semuanya telah dibuldoser. Seluruh wilayah telah hancur,” lanjutnya.

Menurutnya, di blok tempat ia dulu tinggal terdapat lebih dari 1.700 rumah. Kini, tidak satu pun yang berdiri. “Setiap lingkungan hancur, setiap rumah hancur, setiap sekolah hancur, setiap pohon hancur. Wilayah ini tidak layak huni,” ujarnya. Ia bahkan menambahkan, tidak ada ruang untuk mendirikan tenda. “Daerah kami, di pusat kota Khan Younis, dulunya padat penduduk. Sekarang benar-benar tidak ada tempat untuk berlindung,” katanya.

“Ke mana kami bisa pergi? Kami bahkan tidak bisa menemukan tempat kosong untuk mendirikan tenda di atas reruntuhan rumah kami sendiri. Jadi kami terpaksa tetap tunawisma dan mengungsi,” jelasnya.

Di berbagai sudut kota, buldoser mulai membersihkan jalan dan menyingkirkan tumpukan puing. Namun upaya itu seperti menyingkirkan pasir dari gurun; terlalu kecil dibandingkan skala kehancuran. Tumpukan puing masih menjulang di sisi-sisi kota, dan proses evakuasi terus menemukan jenazah di bawah reruntuhan.

“Semakin lama Anda melihat Gaza, semakin mustahil rasanya membangun kembali tempat ini. Tingkat kehancurannya benar-benar luar biasa,” kata salah satu relawan yang ikut mengevakuasi korban.

Upaya pemulihan Gaza menjadi pekerjaan yang tak hanya memerlukan beton dan dana, tetapi juga harapan yang telah lama dikikis perang. Ironisnya, di tengah penderitaan ini, sebagian negara masih menimbang-nimbang “kepentingan strategis” sebelum memutuskan bantuan.

Sejumlah organisasi kemanusiaan telah berulang kali mendesak dibukanya akses bantuan bagi Gaza. Namun hingga kini, jalur distribusi masih tertutup rapat. Makanan, obat-obatan, dan perlengkapan darurat menumpuk di perbatasan, terhalang perizinan politik yang berbelit.

Gencatan senjata memang memberi jeda dari dentuman bom, tapi tidak memberi ruang bagi kehidupan untuk benar-benar dimulai kembali. Ketika malam tiba, warga Gaza tidur tanpa suara ledakan, tetapi bangun untuk menyaksikan kenyataan yang lebih sunyi: kota tanpa warna, tanpa listrik, tanpa air, tanpa kepastian.

Di antara reruntuhan itu, seorang pria tua berkacamata merah muda berdiri memandangi sisa rumahnya. “Tidak ada yang tersisa dari rumah saya, jadi saya serahkan semuanya kepada Tuhan,” ujarnya dengan suara datar. Ia kemudian menambahkan, “Saya senang kami masih hidup dan sehat. Sekarang kami bisa kembali ke sana, meskipun itu berarti kami harus makan pasir.”

Kalimat itu menggambarkan absurditas yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang hidup di tengah reruntuhan perang. Sementara dunia sibuk menggelar konferensi perdamaian, warga Gaza berjuang bertahan di antara debu dan duka.

Gaza hari ini adalah cermin kegagalan moral global. Drone yang dahulu digunakan untuk menargetkan musuh kini menjadi saksi dari kegagalan umat manusia menghentikan penderitaan berkepanjangan.

Setiap rumah yang runtuh bukan sekadar kerugian material, tetapi juga penghapusan memori, sejarah, dan harapan. Gaza bukan lagi sekadar konflik geopolitik ia telah menjadi kuburan kolektif bagi nurani dunia yang membisu di hadapan penderitaan. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com