Gelombang Panas Mematikan, Jepang Kembali Terapkan Kerja dari Rumah

TOKYO – Musim panas 2025 menjadi ujian berat bagi pekerja Jepang. Saat suhu di berbagai wilayah negeri Sakura itu menyentuh 35-38 derajat Celsius, sejumlah perusahaan mengambil langkah luar biasa: memindahkan kantor ke rumah karyawan. Kebijakan ini bukan sekadar kenyamanan, melainkan upaya menyelamatkan nyawa dari ancaman heat stroke (demam akibat hawa panas) yang telah merenggut korban jiwa.

Trinity Inc, produsen aksesori telepon genggam di Prefektur Saitama, termasuk pelopor kebijakan ini sejak 2022. Keputusan itu lahir setelah Direktur Utama Yohei Yamamoto menemukan seorang stafnya pingsan di depan kantor akibat heat stroke. “Panasnya. Apa kita perlu ke kantor?” tulis seorang warganet di X, mencerminkan kegelisahan yang sama. Perusahaan asuransi Daiichi Sankyo menemukan fakta mencengangkan: 25% dari 632 pekerja yang disurvei pernah mengalami heat stroke saat berangkat kerja.

Pemerintah Jepang merespons dengan sistem Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) yang mengukur risiko panas berdasarkan kelembaban, suhu udara, dan radiasi matahari. Ketika WBGT mencapai 33 derajat Celsius—seperti terjadi di Tokyo (36,5°C), Kuwana (38°C), bahkan Hokkaido (35,8°C)—aktivitas luar ruangan dilarang. Stasiun televisi NHK melaporkan, Asosiasi Olahraga Jepang memindahkan kejuaraan atletik nasional ke dalam ruangan.

Namun, perlindungan ini belum merata. Banyak pekerja tetap harus menghadapi perjalanan panjang dengan kereta api dan berjalan kaki di terik matahari. “Bisa enggak, sih, minimal di musim panas ini, kita bekerja dari rumah saja?” keluh pengguna X lain, mengenang fleksibilitas kerja era Covid-19.

Di balik krisis ini, perubahan iklim memperlihatkan taringnya. Jepang baru saja meluncurkan satelit melalui Perusahaan Penjelajahan Antariksa Jepang (JAEC) untuk memantau dampak gas rumah kaca—langkah ke-50 dalam misi roket H-2A. Data ini kian relevan saat belahan bumi utara mengalami kekeringan ekstrem, sementara wilayah khatulistiwa dibanjiri hujan tak henti.

Kebijakan kerja jarak jauh di Jepang mungkin menjadi preseden bagi negara lain yang menghadapi gelombang panas. Namun, solusi jangka panjang tetap terletak pada mitigasi perubahan iklim—sebelum bumi benar-benar tak lagi layak huni. Seperti diingatkan kasus heat stroke, ancaman nyata perubahan iklim bukan sekadar angka di termometer, melainkan nyawa manusia yang terenggut perlahan.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com