Gencatan Senjata, Perut Gaza Tetap Kosong

GAZA – Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti kondisi kelaparan yang tidak mengalami perubahan berarti di Jalur Gaza, meskipun gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah berlangsung sejak 10 Oktober 2025. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menegaskan, “Situasinya masih sangat buruk karena bantuan yang masuk tidak cukup,” dalam konferensi pers pada Kamis (23/10/2025) sebagaimana dilaporkan AFP. Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi dunia internasional yang kerap menyebut gencatan senjata sebagai solusi kemanusiaan.

Meski aliran bantuan diklaim meningkat, kenyataannya, jumlahnya tidak mampu mengubah kondisi kelaparan yang terus menghantui warga Gaza. Dalam kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat, diatur bahwa 600 truk bantuan kemanusiaan diperbolehkan masuk setiap hari. Namun fakta di lapangan jauh dari harapan. “Saat ini hanya 200–300 truk yang masuk setiap hari, dan sebagian besar bersifat komersial,” ujar Ghebreyesus. Artinya, barang-barang yang masuk bukan bantuan gratis untuk warga miskin, melainkan produk yang hanya bisa diakses oleh mereka yang masih memiliki uang jumlah yang kian sedikit di tengah kehancuran ekonomi Gaza.

Sejak awal konflik, Israel kerap membatasi bahkan menghentikan aliran bantuan ke Jalur Gaza. PBB menilai tindakan ini memperparah krisis kemanusiaan dan menyebabkan kelaparan di banyak wilayah Palestina. Ironinya, dunia seolah memilih diam, membiarkan penderitaan ini berlangsung di balik jargon “gencatan senjata” yang ternyata hanya menghentikan peluru, bukan penderitaan.

Data WHO menunjukkan bahwa sejak awal 2025, sebanyak 411 orang telah meninggal akibat malnutrisi dan kelaparan. Angka ini menjadi bukti bahwa gencatan senjata yang digaungkan ternyata tidak berarti keselamatan bagi rakyat Gaza. Bantuan yang seharusnya menjadi napas kehidupan justru berubah menjadi komoditas ekonomi di tengah bencana kemanusiaan.

Lembaga kemanusiaan Oxfam menyebut distribusi bantuan ke Gaza menghadapi hambatan besar karena pembatasan dan kontrol ketat dari pihak Israel. Banyak lembaga swadaya masyarakat internasional pun mengaku kesulitan menyalurkan bantuan langsung ke warga yang membutuhkan. Sementara itu, bahan-bahan yang diizinkan masuk lebih banyak berupa produk konsumsi ringan, bukan bahan pokok bergizi.

Bahaa Zaqout, Direktur Hubungan Eksternal di LSM Palestina PARC, memberikan contoh nyata dari ketimpangan tersebut. “Biskuit, cokelat, dan soda diizinkan masuk dengan truk komersial. Namun barang-barang seperti biji-bijian dan zaitun dibatasi masuk,” ujarnya mengutip dari Al Jazeera. Ia menambahkan, beberapa buah dan sayuran memang berhasil masuk, tetapi harganya sangat tinggi dan tak terjangkau oleh sebagian besar penduduk Gaza. “Sayangnya, barang-barang ini tidak memenuhi nilai gizi minimum yang dibutuhkan untuk anak-anak, perempuan, dan kelompok yang paling rentan,” tegasnya.

Pernyataan Zaqout mengungkap ironi bahwa gencatan senjata yang digembar-gemborkan dunia hanya sebatas penghentian tembakan, bukan penghentian penderitaan. Di tengah reruntuhan bangunan dan suara diplomasi yang hampa, Gaza tetap menjerit dalam kelaparan. Dunia berbicara tentang perdamaian, tetapi yang dirasakan rakyat Gaza hanyalah perut kosong dan janji yang tak pernah ditepati.

Selama gencatan senjata, Israel tetap mengontrol penuh aliran barang, membuat bantuan kemanusiaan berubah menjadi alat tekanan politik. Situasi ini menegaskan kegagalan moral dunia dalam menegakkan prinsip kemanusiaan. Gencatan senjata tanpa gizi bukanlah perdamaian, melainkan bentuk lain dari pendudukan yang lebih halus: membiarkan rakyat mati perlahan, bukan dengan peluru, tetapi dengan lapar. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com