HSINCHU – Kejahatan di Taiwan tampaknya makin kehilangan batas moral. Seorang perempuan berusia 59 tahun bermarga Li dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan yang bahkan sulit dibayangkan: menggunakan sidik jari jenazah untuk memalsukan dokumen utang. Kasus ini bukan sekadar penipuan finansial, melainkan potret suram dari kerakusan yang melampaui etika, kemanusiaan, dan hukum.
Pengadilan Distrik Hsinchu menjatuhkan vonis kepada Li atas pemalsuan dokumen keuangan, setelah terbukti mencoba memvalidasi perjanjian utang palsu dengan sidik jari seorang pria bernama Peng, yang telah meninggal dunia. Menurut laporan The Daily Jagran, Kamis (16/10/2025), peristiwa ini terjadi hanya beberapa jam setelah kematian Peng di rumah duka Hsinchu, Taiwan bagian barat laut.
Menurut dokumen pengadilan, Li dan Peng sebelumnya terlibat sengketa utang jangka panjang. Begitu mengetahui Peng meninggal pada 21 Februari, Li langsung datang ke rumah duka dengan membawa dokumen hipotek palsu senilai 280.000 dolar AS (sekitar Rp 4,6 miliar). Dengan berpura-pura hendak memberi penghormatan terakhir, ia membawa bantalan tinta sendiri dan menekan tangan jenazah Peng ke dokumen tersebut agar tampak seolah Peng menandatanganinya sebelum meninggal dunia.
Namun, aksi tersebut tidak berjalan mulus. Sekitar pukul 11.00, enam jam setelah Peng meninggal, pegawai rumah duka memergoki Li yang bertingkah mencurigakan di dekat mobil jenazah. Saat didekati, pegawai itu melihat Li tengah menekan tangan Peng ke beberapa lembar kertas. Kejadian itu segera dilaporkan kepada keluarga korban, yang langsung menghubungi polisi.
Aparat keamanan datang ke lokasi dan menangkap Li di tempat kejadian. Polisi menyita berbagai barang bukti, termasuk dokumen hipotek palsu, cek bank palsu, dan bantalan tinta yang digunakannya. Saat diperiksa, Li berdalih bahwa tindakannya dilakukan karena “takut kehilangan uang yang dipinjamkan” kepada Peng, sehingga mencoba “mengamankan pembayaran” dengan cara tersebut.
Pengadilan menilai tindakan Li sebagai bentuk pemalsuan serius, namun karena dokumen itu belum sempat digunakan atau diproses lebih lanjut, hukumannya ditangguhkan selama lima tahun. Ia dijatuhi denda sebesar 1.600 dolar AS (sekitar Rp 26 juta) dan diwajibkan menjalani 90 jam kerja sosial di lembaga kesejahteraan publik.
Vonis ringan ini memicu kritik terhadap sistem peradilan Taiwan yang dinilai terlalu lunak menghadapi kejahatan keuangan ekstrem. Di tengah meningkatnya kasus penipuan digital dan finansial, publik menilai kasus Li menunjukkan betapa lemahnya nilai moral di balik ambisi uang, bahkan hingga berani menodai jenazah demi keuntungan pribadi.
Kasus ini menjadi cermin getir dari krisis etika modern ketika keinginan menguasai harta mampu mengalahkan rasa kemanusiaan, dan hukum tampak hanya memberi teguran, bukan peringatan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan