Gizi Anak Terganjal Birokrasi!

TARAKAN — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi kebanggaan pemerintah justru menuai kritik di berbagai daerah, termasuk di Kalimantan Utara (Kaltara). Alih-alih menjadi solusi peningkatan gizi anak, program ini dinilai masih jauh dari kata efektif karena pelaksanaannya di lapangan terhambat koordinasi yang buruk.

Padahal, tujuan awal MBG sangat mulia: menekan angka stunting dan memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Namun, di tengah ambisi besar pemerintah untuk menciptakan generasi sehat, implementasinya justru menunjukkan lemahnya sistem birokrasi dan komunikasi antarlembaga.

Ketua Komisi II DPRD Kota Tarakan, Simon Patino, tak menutup mata terhadap persoalan ini. Ia mengaku pihaknya sudah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama berbagai pemangku kepentingan guna mencari akar masalah dari program yang kini menjadi sorotan publik itu. “Sebenarnya pelaksanaan MBG sudah cukup bagus, hanya saja kami melihat pelaksana yang dipercayakan pemerintah memiliki komunikasi yang minim kepada perangkat daerah,” ujarnya, Selasa (21/10/2025).

Menurut Simon, kekacauan di lapangan terjadi karena minimnya koordinasi antarinstansi, terutama dalam penyampaian petunjuk teknis (juknis) yang sering berubah tanpa sosialisasi yang jelas. Akibatnya, banyak dinas di daerah terutama Dinas Pendidikan kesulitan memahami standar pelaksanaan yang diminta pusat. “Kalau sepenting juknis saja sulit dikoordinasikan, ini saya yakin program apa pun yang dilakukan pasti menimbulkan masalah,” tegasnya.

Pernyataan Simon menyoroti kelemahan klasik dalam birokrasi Indonesia: komunikasi vertikal yang buruk antara pusat dan daerah. Ia menilai pemerintah pusat terlalu sibuk menampilkan program populis, tapi abai terhadap kesiapan teknis di lapangan.

Lebih jauh, Simon meminta Badan Gizi Nasional (BGN), Dinas Ketahanan dan Pertanian (Distan), serta Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk memperbaiki pola komunikasi lintas sektor. “Kami berharap semua yang terlibat dalam MBG ini komunikasinya terbangun. Dari bahan baku, produksi, distribusi, semuanya harus terbangun,” katanya.

Ia menegaskan, program sebesar MBG seharusnya memiliki rantai koordinasi yang jelas: Distan mengurus bahan baku, Dinas Kesehatan mengawasi proses produksi dan kualitas gizi, sementara Dinas Pendidikan memastikan distribusi ke sekolah berjalan tepat waktu dan sesuai sasaran. “Kami berharap adanya koordinasi yang solid antara Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Distan) dan SPPG,” tambahnya.

Kritik Simon mencerminkan kegelisahan publik terhadap program yang terlalu cepat dijalankan tanpa kesiapan struktural yang matang. Di lapangan, banyak daerah menghadapi masalah teknis seperti keterlambatan distribusi, kualitas makanan yang menurun, hingga data penerima yang tidak sinkron.

Jika pemerintah serius ingin menjadikan MBG sebagai tonggak perbaikan gizi nasional, perbaikan mendasar harus dilakukan bukan hanya di aspek teknis, tetapi juga dalam desain koordinasi antarlembaga. Tanpa itu, program ini hanya akan menjadi janji populis yang gagal memberi nutrisi pada generasi bangsa. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com