Guru Bejat Cabuli Murid di Ruang Kelas

BANTEN – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Serang, Banten, ditangkap polisi karena mencabuli siswanya sendiri. Ironinya, sosok yang seharusnya menjadi panutan justru menjelma menjadi ancaman di lingkungan yang mestinya paling aman bagi anak.

Kasus ini terungkap setelah korban menceritakan pengalaman traumatisnya kepada keluarga. Aksi cabul itu terjadi saat kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, di mana pelaku memanfaatkan posisi dan kedekatan dengan korban. Ia bahkan memberi uang Rp30 ribu sebagai “tutup mulut” agar korban tidak menceritakan perbuatannya.

“Motifnya karena pelaku memiliki penyimpangan orientasi seksual. Dia mengaku senang kepada sesama jenis, terutama terhadap anak laki-laki,” ujar Kapolres Serang AKBP Condro Sasongko, Selasa (14/10/2025).

Perbuatan itu berlangsung pada Agustus lalu. Keluarga korban baru mengetahui kejadian keji itu dua bulan kemudian. Merasa tidak terima, mereka segera melapor ke Polres Serang. “Perbuatan pelaku akhirnya terungkap setelah korban menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Merasa tidak terima, keluarga korban kemudian melaporkan tindakan bejat tersebut ke Polres Serang pada Rabu 8 Oktober 2025,” ujar Condro.

Kasus ini kembali membuka luka lama dalam sistem pendidikan kita di mana kekerasan seksual seringkali baru terungkap setelah korban mengalami trauma mendalam. Pengawasan terhadap perilaku guru di sekolah-sekolah masih lemah, sementara mekanisme perlindungan anak nyaris tidak berfungsi efektif.

Kasat Reskrim Polres Serang, AKP Andi Kurniadi ES, mengungkapkan, pelaku ditangkap di rumahnya di Cikeusal pada Senin (13/10/2025). Penyelidikan masih berlangsung untuk mengungkap kemungkinan korban lain. “Kami tidak menutup kemungkinan ada korban lainnya. Oleh karena itu, penyelidikan akan terus dikembangkan,” kata Andi.

Dari hasil pemeriksaan, pelaku diketahui telah empat kali mencabuli korban dalam kegiatan Pramuka di sekolah. Setiap kali melakukan aksinya, pelaku memberikan uang Rp30 ribu sebagai imbalan.

“Pelaku melakukan pencabulan sebanyak empat kali saat korban melaksanakan kegiatan Pramuka di sekolah. Setelah (pelaku) melakukan pencabulan tersebut, korban diberi uang sebesar Rp30 ribu,” ujar Andi.

Kasus ini mengungkap bagaimana pelaku memanfaatkan struktur kekuasaan dalam ruang pendidikan: seorang guru yang dipercaya, seorang siswa yang bergantung. Sistem sekolah yang mestinya melindungi malah memberi celah bagi predator untuk beraksi dengan mudah.

Andi menambahkan, kasus ini terungkap setelah orang tua korban memeriksa ponsel anaknya dan menemukan komunikasi mencurigakan dengan pelaku. “Korban baru cerita ke keluarga karena orang tuanya curiga pada saat mengecek HP korban, nomor pelaku diblokir. Korban pun trauma dengan kejadian tersebut,” katanya.

Kepolisian menegaskan akan menindak tegas pelaku kejahatan seksual. Namun pernyataan itu seolah menjadi pengulangan yang tidak diikuti langkah pencegahan konkret. Setiap kali kasus seperti ini muncul, janji penindakan terdengar keras namun sistem perlindungan anak tetap rapuh. “Kami tegaskan akan menindak tegas pada pelaku kekerasan maupun kejahatan seksual,” tegas Condro.

Kejadian di Serang bukan hanya kasus individu, tetapi tanda alarm tentang rusaknya integritas sebagian tenaga pendidik dan lemahnya sistem pengawasan sekolah. Selama sekolah masih menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan “orang dalam”, dunia pendidikan akan terus gagal menjalankan misinya: mencerdaskan tanpa mencederai. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com