DOHA – Pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, menyatakan Amerika Serikat dianggap gagal membangun kredibilitas sebagai mediator dalam konflik Gaza dengan Israel, termasuk dalam upaya gencatan senjata yang hingga kini belum tercapai.
Menurut Hamad, pengalaman Hamas dalam berhubungan dengan mediasi AS terasa “pahit.” Ia menyoroti penarikan proposal gencatan senjata oleh Washington sebagai bukti bahwa AS tidak lagi layak dipercaya dalam proses diplomasi di wilayah tersebut.
“Dia [Trump] tidak membuat kami takut,” kata Hamad kepada Al Jazeera pada Rabu (17/09/2025). Ini menjadi penampilan publik pertamanya sejak serangan Israel di Doha, Qatar, pada 9 September lalu.
Hamad menekankan bahwa Hamas tidak memerlukan arahan dari Presiden AS Donald Trump terkait perlakuan terhadap tawanan Israel yang mereka tahan. “Kami memperlakukan para tawanan sesuai dengan nilai-nilai kami, dan terlepas dari pembantaian yang terjadi terhadap rakyat kami, yang membahayakan mereka adalah pendudukan [Israel] itu sendiri,” tambahnya.
Ia menilai bahwa rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengubah tatanan politik Timur Tengah memerlukan respons strategis dari negara-negara Arab.
Beberapa hari sebelumnya, pada Sabtu (13/09/2025), Netanyahu menyebut bahwa menyingkirkan pemimpin Hamas merupakan langkah kunci untuk mengakhiri konflik di Gaza. “Para pemimpin teroris Hamas yang tinggal di Qatar tidak peduli dengan rakyat di Gaza. Mereka memblokir semua upaya gencatan senjata untuk memperpanjang perang tanpa henti,” kata Netanyahu di platform X, dikutip AFP.
Netanyahu menambahkan, “Menyingkirkan mereka akan menyingkirkan hambatan utama untuk membebaskan semua sandera kita dan mengakhiri perang.” Pernyataan ini muncul hanya beberapa hari setelah serangan Israel terhadap kepemimpinan Hamas di Doha, yang memicu kecaman internasional. Presiden AS saat itu, Donald Trump, juga menyoroti ketidaksepakatannya terhadap langkah Israel, menilai serangan tersebut merugikan kepentingan kedua pihak.
Sementara itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung resolusi tidak mengikat pada Jumat (12/09/2025) yang mendorong solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Dari total 193 anggota PBB, 142 negara menyetujui, 10 menolak, dan 12 abstain. Resolusi yang digagas oleh Prancis dan Arab Saudi ini menegaskan pengakuan terhadap negara Palestina merdeka serta memperkuat agenda solusi dua negara.
Sejak konflik pecah pada Oktober 2023, lebih dari 64.000 warga Palestina dilaporkan tewas. Qatar memegang peran sentral sebagai mediator untuk meredakan ketegangan dan mencari jalan penyelesaian damai bagi konflik yang berkepanjangan ini.
Kehadiran Hamas yang menolak arahan dari AS sekaligus menyoroti pentingnya peran Arab dan mediator regional dalam proses perdamaian, menunjukkan bahwa konflik Gaza tidak dapat sepenuhnya diselesaikan melalui campur tangan unilateral dari kekuatan besar. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan