BANJARMASIN – Selama sebulan terakhir, masyarakat berpenghasilan rendah di Kota Banjarmasin menghadapi kesulitan mendapatkan tabung gas elpiji 3 kilogram dengan harga yang sesuai ketentuan. Harga jual di tingkat eceran kini mencapai Rp50 ribu per tabung, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp18.500 di pangkalan resmi.
Kondisi ini menimbulkan keresahan luas di kalangan warga, terutama yang mengandalkan gas subsidi untuk kebutuhan memasak harian. Lonjakan harga yang tidak terkendali menambah beban ekonomi kelompok rentan, terlebih tidak ada aturan pasti yang membatasi harga di luar pangkalan.
Menanggapi hal ini, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kota Banjarmasin tengah menyusun regulasi guna mengendalikan harga gas subsidi di tingkat pengecer. “Kalau di pangkalan kan sudah jelas HET Rp18.500. Nah, kami sedang mempelajari apakah pemerintah daerah dibolehkan membuat regulasi untuk membatasi harga di tingkat eceran,” ujar Kepala Disperdagin Kota Banjarmasin, Ichrom Muftezar, Rabu (9/7).
Ia mengungkapkan bahwa selama ini tidak ada payung hukum yang membatasi harga jual gas di warung-warung pengecer. Hal ini membuka peluang terjadinya praktik harga semaunya yang merugikan masyarakat kecil. “Kami sudah berkoordinasi dengan Bagian Hukum Sekretariat Daerah dan akan menggandeng Pertamina serta stakeholder lain,” terangnya.
Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah sebagai pengatur agar subsidi negara benar-benar dinikmati oleh warga yang berhak. “Fungsi pemerintah sebagai regulator harus hadir. Kami ingin pedagang eceran juga bijak, jangan seenaknya memasang harga. Kalau semua bisa tertib, harga bisa kembali stabil,” tandasnya.
Disperdagin menargetkan regulasi tersebut dapat menjangkau seluruh rantai distribusi, dari pangkalan hingga pengecer, sehingga pengawasan lebih merata dan menyeluruh.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Banjarmasin, Hendra, memandang persoalan ini sebagai hal yang sangat mendesak dan perlu ditangani secara struktural. “Ini bukan semata soal naik turun harga, tapi lebih pada ketidaktegasan tata kelola distribusi. Di lapangan, kami menemukan warga yang seharusnya berhak, justru tidak kebagian. Sementara pengecer bebas menjual gas di atas HET kepada siapa saja,” ucapnya.
Hendra mengungkapkan temuannya saat reses di kawasan Surgi Mufti, Banjarmasin Utara. Menurutnya, warga setempat kesulitan mendapatkan gas subsidi, sedangkan di warung-warung, harga jual mencapai Rp45 ribu hingga Rp50 ribu per tabung. Ia menilai kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan awal subsidi gas melon.
“Gas melon disubsidi untuk membantu masyarakat rentan, bukan malah jadi ajang bancakan pihak-pihak tak bertanggung jawab,” tegas politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Komisi II mendorong Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Disperdagin untuk segera menyusun peraturan wali kota (perwali) yang mengatur batas harga di tingkat pengecer. “Koordinasi dengan Pertamina juga jangan hanya soal pasokan dan kuota. Harus ada mekanisme pengawasan, penertiban pangkalan dan pengecer nakal,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga menyarankan pembentukan tim pengawasan terpadu yang melibatkan Satpol PP dan kepolisian untuk melakukan audit serta razia berkala. Pendataan penerima subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) hingga tingkat RT/RW juga dianggap perlu agar distribusi tepat sasaran.
“Peran regulator tidak boleh hanya berhenti pada kajian. Harus nyata dalam tindakan di lapangan. Komisi II akan terus mengawal agar ada kepastian harga, keadilan distribusi, dan perlindungan bagi masyarakat kecil,” pungkas Hendra.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan