KOTAWARINGIN TIMUR – Hubungan antara legislatif dan eksekutif di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) kembali menjadi sorotan. Ketidakharmonisan yang terjadi antara kedua lembaga tersebut dinilai bukanlah hal baru, melainkan persoalan yang telah berlangsung cukup lama. Buruknya komunikasi antara wakil rakyat dan jajaran pejabat eksekutif disebut-sebut sebagai pemicu utama renggangnya hubungan tersebut.
Seorang anggota DPRD Kotim yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa keberadaan lembaga legislatif sering kali hanya diperhatikan ketika menyangkut pembahasan anggaran. Selebihnya, menurut dia, komunikasi seolah terputus.
“Jadi, ini sebenarnya akumulasi dan saat ini DPRD dianggap saat ada kepentingan pembahasan anggaran saja. Selesai anggaran dibahas, kami telepon atau WA saja tidak direspons,” ujar anggota dewan tersebut, Kamis (10/7/2025).
Kondisi ini dinilai terus berulang dari tahun ke tahun, bahkan menciptakan stigma di kalangan eksekutif bahwa legislatif tidak perlu dilibatkan secara aktif di luar pembahasan anggaran. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi agar kedua lembaga ini tidak saling merendahkan ataupun merasa lebih tinggi.
Sebelumnya, insiden kecil sempat terjadi antara anggota DPRD Kotim Hairis Salamat dengan seorang pejabat Dinas UMKM, Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kotim. Peristiwa tersebut terjadi saat Hairis mempertanyakan pencairan dana aspirasi. Dalam kejadian itu, kaca meja di salah satu ruangan pecah, yang kemudian menjadi viral di media sosial.
Hairis menanggapi kabar yang beredar dengan memberikan klarifikasi. Ia menegaskan tidak ada unsur kesengajaan dalam insiden tersebut.
“Kebetulan saat itu saya menekan meja. Ujung meja ini kacanya agak keluar. Nah, kenalah cincin saya, sehingga kacanya pecah. Tidak ada unsur sengaja. Oleh sebab itu, jika menjadi viral, saya minta maaf, karena saya tidak sengaja,” tegasnya.
Pemerhati kebijakan publik dan hukum di Kotim, Agung Adisetiyono, menyampaikan bahwa langkah anggota DPRD dalam mengawal program konstituennya merupakan hal yang wajar. Ia menilai dinamika dalam politik merupakan bagian dari proses dan tidak seharusnya dipermasalahkan, selama tidak melibatkan kekerasan fisik.
“Memang keharusan bagi anggota DPRD mengawal pelaksanaan program di dapilnya. Segala bentuk dinamika saya kira itu adalah hal yang lumrah,” kata Agung.
Ia juga menyebutkan bahwa aksi spontan dalam dunia politik bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bahkan, di tingkat nasional pun kerap terjadi perdebatan panas dalam ruang rapat.
“Bahkan kita bisa lihat di DPR RI, aksi seperti ini pernah terjadi hingga pengusiran dari ruang rapat. Kalau kita orang awam melihat itu keterlaluan, tetapi politik itu ada dunianya sendiri dan aksi begitu bagian dari strategi politik juga,” ujarnya.
Menurut dia, kejadian ini seharusnya menjadi refleksi bagi pihak eksekutif untuk mengevaluasi kinerja jajarannya, terutama dalam hal pelaksanaan program yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
“Ini momentum evaluasi untuk pejabat eksekutif juga supaya ke depannya tidak main-main dengan program konstituen. Apalagi itu bersentuhan dengan kepentingan masyarakat,” katanya.[]
Admin05