Hukum Kalah di Perbatasan: Nikah Dini Jadi Budaya

NUNUKAN – Fenomena pernikahan dini di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kembali menjadi sorotan. Di tengah kompleksitas persoalan sosial dan ekonomi, praktik menikah di bawah umur masih marak, menandakan lemahnya kesadaran hukum di masyarakat perbatasan.

Menanggapi kondisi ini, Pemerintah Desa Balansiku bersama Kantor Urusan Agama (KUA) Sebatik menggelar Gerakan Sadar (GAS) Pencatatan Nikah dan Dampak Pernikahan Dini, bertempat di Balansiku belum lama ini.

Kepala Desa Balansiku, Armansyah, mengakui masih banyak warganya yang menikah muda tanpa melalui jalur hukum resmi.

“Masih banyak warga kami yang menikah di bawah umur dan enggan mencatatkan pernikahannya di KUA. Padahal, akibatnya sangat serius, mulai dari tidak diakuinya status hukum pernikahan, anak yang kesulitan mendapat akta kelahiran, hingga perempuan yang kehilangan hak perlindungan hukum jika terjadi perceraian,” ujar Armansyah kepada wartawan, Selasa (11/11/2025) sore.

Menurutnya, kegiatan ini menjadi langkah konkret dalam membuka kesadaran hukum masyarakat agar tidak lagi memandang remeh pencatatan nikah.

“Kami ingin membuka wawasan masyarakat bahwa menikahkan anak di usia dini bukan solusi, melainkan awal dari banyak persoalan. Melalui kegiatan ini, kami berharap warga semakin memahami pentingnya pencatatan nikah sebagai bentuk tanggung jawab hukum dan moral,” ucapnya.

Faktor ekonomi dan budaya disebut menjadi penyebab utama maraknya praktik pernikahan anak di wilayah perbatasan. Banyak keluarga yang menikahkan anak perempuan mereka dengan alasan agar tidak menjadi beban ekonomi atau terhindar dari pergaulan bebas. Namun, cara ini justru memunculkan masalah baru: kemiskinan yang berulang dan risiko sosial yang semakin besar.

Sementara itu, Kepala KUA Sebatik, Asmayadi, menegaskan pentingnya pencatatan nikah resmi sebagai dasar perlindungan hukum keluarga.

“Pernikahan yang tercatat secara resmi akan menjamin hak-hak suami, istri, dan anak. Dengan adanya buku nikah, pasangan bisa dengan mudah mengurus berbagai dokumen penting seperti akta kelahiran, kartu keluarga, BPJS, dan administrasi kependudukan lainnya,” ungkap Asmayadi Ia menyoroti pula dampak panjang dari pernikahan usia dini yang sering diabaikan.

“Banyak pasangan muda yang belum siap secara mental dan ekonomi. Akibatnya, rumah tangga mudah goyah. Bahkan, pernikahan dini menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting di wilayah perbatasan karena ibu muda belum siap secara fisik untuk melahirkan dan merawat anak,” katanya.

Menurutnya, masih ada hambatan dalam upaya menertibkan pencatatan nikah, mulai dari rendahnya pemahaman masyarakat, kendala biaya, hingga jarak tempuh menuju KUA.

“Kami dari KUA tidak hanya menunggu masyarakat datang, tetapi juga turun langsung ke lapangan untuk memberikan edukasi. Kami ingin memastikan bahwa setiap pernikahan di wilayah Sebatik tercatat dan sah secara hukum,” tegas Asmayadi.

Di sisi lain, Kasi Pemerintahan Kecamatan Sebatik, Tahrir, menilai kegiatan ini menjadi bagian penting dalam memperkuat kesadaran hukum di wilayah perbatasan.

“Gerakan sadar pencatatan nikah ini adalah langkah konkret dalam mendukung tertib administrasi kependudukan dan pencegahan pernikahan usia dini. Masyarakat perlu memahami bahwa pernikahan bukan hanya urusan agama, tetapi juga urusan negara,” kata Tahrir.

Kegiatan GAS di Desa Balansiku menjadi pengingat bahwa di balik tradisi dan tekanan ekonomi, masih ada tugas besar negara dan masyarakat dalam melindungi generasi muda agar tidak terjebak dalam lingkaran pernikahan dini tanpa perlindungan hukum. []

Fajar Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com