PALANGKA RAYA – Koalisi Keadilan untuk Tempayung menilai Pengadilan Tinggi Palangka Raya mengamini praktik peradilan fiktif dalam putusan banding terhadap kasus yang menjerat Kepala Desa Tempayung, Syahyuni. Putusan tersebut menguatkan vonis sebelumnya dari Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, yang menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Syahyuni.
Penilaian itu disampaikan oleh Janang Firman Palanungkai dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, yang juga tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Tempayung. Ia menyatakan bahwa putusan ini menunjukkan lemahnya integritas proses hukum dalam perkara tersebut.
Untuk diketahui, Syahyuni didakwa sebagai dalang pemortalan kebun kelapa sawit milik sebuah perusahaan besar swasta (PBS) di Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat. Dalam putusan PN Pangkalan Bun dengan Nomor 36/Pid.Sus/2025/PN Pbu tertanggal 25 Maret 2025, majelis hakim mencantumkan keterangan dari saksi ahli bernama Zikri Rachmani.
Namun, menurut Janang, saksi ahli tersebut tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) maupun proses persidangan. “Menguatkan putusan PN Pangkalan Bun artinya Pengadilan Tinggi mengamini peradilan fiktif tersebut,” tegas Janang dalam pernyataannya.
Janang juga menyayangkan bahwa Pengadilan Tinggi Palangka Raya, yang diketuai oleh hakim Sigit Sutrisno, tidak mempertimbangkan pernyataan sikap dari Koalisi Keadilan untuk Tempayung. Ia mengungkapkan bahwa isu mengenai saksi fiktif telah disampaikan secara terbuka dalam aksi solidaritas yang digelar sehari sebelumnya, yakni pada Senin (06/05/2025).
Selain itu, ia menyoroti waktu pembacaan putusan banding yang berlangsung hanya satu hari setelah aksi solidaritas. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa proses hukum dilakukan secara terburu-buru dan mengandung unsur politis. “Kami juga menduga ada bisnis kriminalisasi di balik ini semua,” tambahnya.
Sementara itu, Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Agung Iswanto, menanggapi tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa penjadwalan sidang sudah ditetapkan jauh sebelum aksi digelar. “Itu hanya kebetulan, seminggu sebelumnya, sidang sudah dijadwalkan,” ujarnya.
Terkait dugaan peradilan fiktif, Agung menyatakan bahwa hal itu akan ditelusuri lebih lanjut. “Itu akan kami telusuri, akan tetapi itu tidak masuk ke dalam memori banding dari kuasa hukum terdakwa,” pungkasnya.[]
Redaksi12