Ibu Hamil Dilecehkan, Dokter Iril Rusak Kepercayaan Publik

JAWA BARAT – Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh terpidana dr. M. Syafril Firdaus alias Dokter Iril kembali menjadi sorotan publik. Meski para korban telah menerima restitusi, kasus ini tetap menyisakan luka moral dan pertanyaan besar tentang tanggung jawab etik seorang tenaga medis. Bagaimana mungkin seseorang dengan profesi penyembuh justru menjadi pelaku yang merusak martabat perempuan, bahkan terhadap ibu hamil?

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Anton Prijanto, menyatakan bahwa restitusi bagi lima korban telah diserahkan secara resmi. “Restitusi telah dibayarkan oleh terpidana dr. MSF usai putusan Pengadilan Negeri Garut Nomor 195/Pid.Sus/2025/PN.Grt tanggal 2 Oktober 2025,” ujar Anton di Kejaksaan Negeri Garut, Selasa (28/10/2025).

Total nilai restitusi mencapai Rp 106.335.796 yang dibagi untuk lima korban, yakni AED sebesar Rp 14,8 juta, APN Rp 19,6 juta, AI Rp 30,7 juta, ES Rp 12,3 juta, dan DS sebesar Rp 28,7 juta. Angka ini disebut sebagai salah satu restitusi tertinggi dalam kasus kekerasan seksual yang pernah ditangani di Garut.

Namun, nominal uang sebesar apa pun tak akan mampu menghapus trauma dan rasa malu yang dialami para korban. Di balik angka itu, tersimpan derita batin, rasa takut, dan ketidakpercayaan terhadap sosok yang seharusnya menjadi pelindung. Sebab, dalam kasus ini, pelaku bukanlah orang asing di jalanan melainkan seorang dokter yang dipercaya masyarakat untuk menjaga keselamatan ibu dan anak.

Anton menjelaskan bahwa LPSK telah mendampingi para korban sejak April 2025, termasuk melalui pendampingan psikologis, pemenuhan hak prosedural, dan pengajuan restitusi. “Nilai restitusi tersebut mencakup kerugian atas kehilangan kekayaan, serta kerugian akibat penderitaan yang ditimbulkan akibat tindak pidana,” katanya.

Sementara itu, Kasi Intelijen Kejari Garut, Jaya P. Sitompul, menyebut bahwa jumlah restitusi tersebut sudah sesuai dengan putusan majelis hakim. “Jumlah restitusi sesuai dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Garut,” ujarnya.

Kendati demikian, publik menilai bahwa hukuman dan restitusi hanyalah bentuk tanggung jawab hukum, bukan moral. Kasus ini kembali menegaskan bahwa predator seksual bisa muncul dari kalangan mana pun, bahkan dari profesi yang seharusnya menjunjung tinggi kode etik dan empati kemanusiaan.

Uang ganti rugi memang bisa dibayar, tetapi kehilangan rasa aman dan martabat perempuan hamil yang dilecehkan tidak akan tergantikan. Kasus Dokter Iril menjadi pelajaran pahit bahwa penegakan hukum harus disertai pengawasan ketat terhadap integritas moral profesi, agar kepercayaan publik terhadap dunia medis tidak semakin runtuh. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com