IRAN – Eksekusi terhadap seorang pelaku kejahatan ekonomi berskala besar kembali dilakukan pemerintah Iran. Langkah tegas tersebut diumumkan otoritas yudisial negeri itu pada Minggu (07/12/2025), setelah seorang pengusaha bernama Mohammad Reza Ghaffari dijatuhi hukuman mati atas keterlibatannya dalam jaringan penipuan investasi yang merugikan puluhan ribu warga.
Ghaffari, yang dikenal sebagai pemilik perusahaan Rezaayat Khodro Taravat Novin, dinilai menjadi otak dari skema penipuan pembelian mobil yang berkembang menjadi praktik investasi properti. Modus tersebut menarik perhatian publik dan aparat setelah ribuan korban mengaku kehilangan dana dalam jumlah besar. Kasus ini kemudian menjadi salah satu skandal kejahatan ekonomi terbesar dalam satu dekade terakhir di Iran.
Putusan hukuman mati dieksekusi setelah Mahkamah Agung Iran menguatkan vonis sebelumnya, menyebut Ghaffari bersalah karena melakukan “gangguan skala besar terhadap sistem ekonomi negara” dan memimpin penipuan jaringan yang berdampak luas. Menurut juru bicara mahkamah, aksi penipuan itu menyebabkan “kerugian finansial dan psikologis yang parah” pada masyarakat, termasuk menimbulkan gangguan kesehatan akibat stres serta keretakan hubungan keluarga.
Di Iran, hukuman mati tidak hanya diterapkan untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, tetapi juga untuk perkara ekonomi yang dianggap mengancam stabilitas negara. Amnesty International bahkan mencatat Iran sebagai negara dengan hukuman mati terbanyak kedua di dunia.
Penyelidikan awal mengungkap skema Ghaffari berawal pada 2013 di Provinsi Qazvin Utara. Perusahaannya menawarkan pembelian mobil di bawah harga pasar, yang kemudian melebar menjadi program investasi properti. Jaksa menuduh Ghaffari dan jaringan rekannya menghimpun dana ratusan juta dolar dari masyarakat, lalu menggunakan simpanan baru untuk membayar keuntungan kepada klien lama mekanisme yang menyerupai skema Ponzi.
Dari kasus tersebut, tercatat lebih dari 28.000 penggugat dan 28 terdakwa. Kerugian diperkirakan mencapai US$350 juta atau sekitar Rp5,8 triliun. Pengadilan menyimpulkan hanya sekitar empat persen peserta yang benar-benar menerima kendaraan seperti dijanjikan.
Selama proses hukum, Ghaffari sempat menyatakan kesediaannya mengembalikan dana para korban demi menghindari hukuman mati. Namun, setelah diberikan sejumlah peringatan serta tenggat waktu, ia dinilai gagal memenuhi komitmen tersebut. Pengadilan menegaskan proses hukum tetap berlanjut sambil memastikan para korban memperoleh upaya pemulihan yang layak. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan