JAKARTA – Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat keempat negara berpendapatan menengah atas dengan penduduk miskin terbanyak di dunia. Data terbaru menunjukkan 60,3% atau sekitar 171,8 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional sebesar 6,85 dolar AS per hari (Paritas Daya Beli/PPP 2017). Saat standar diperbarui ke PPP 2021 (8,3 dolar AS/hari), angka melonjak menjadi 193,5 juta jiwa atau 68,3% populasi.
Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Afrika Selatan (63,4%), Namibia (62,5%), dan Botswana (61,9%), namun lebih buruk dari Guatemala (57,3%), Armenia (51%), Fiji (50,1%), dan Vietnam (17,9%). Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai kondisi ini ironis. “Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, namun kenyataannya mayoritas rakyatnya hidup dalam kemiskinan,” ujarnya. Budiawan menyatakan situasi ini mencerminkan kegagalan negara mewujudkan kesejahteraan. “Selama elite politik dan pejabat publik masih terjerat korupsi, upaya pengentasan kemiskinan hanya akan menjadi slogan kosong,” tegasnya.
Kenaikan garis kemiskinan Bank Dunia dari 5,5 dolar AS (PPP 2011) menjadi 8,3 dolar AS (PPP 2021) memperbesar tantangan. Angka ini jauh lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat 9,4% pada Maret 2024.
Di tengah tantangan kemiskinan, potensi kelautan Indonesia menawarkan solusi strategis. Sebagai negara kepulauan terbesar, lautnya menyediakan 60% protein bagi negara tropis dan menjadi jalur 90% perdagangan global. Namun, sektor ini menghadapi ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan. “Pemanasan global memicu perubahan iklim yang meningkatkan suhu dan pengasaman laut. Ini mengubah pola migrasi ikan,” jelas Rasman Manafi, Asisten Deputi Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kemenko Pangan. Ia menambahkan, “Tumbuhan laut menghasilkan hampir setengah oksigen yang kita hirup. Suhu permukaan laut rerata meningkat sekitar 0,7 derajat celsius selama 100 tahun terakhir.”
Untuk mengatasi ancaman dan memanfaatkan potensi, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) atau Marine Protected Area (MPA) dinilai krusial. “Tujuan MPA untuk melestarikan dan melindungi habitat, spesies, integritas ekologi, keanekaragaman hayati, dan produktivitas,” papar Rasman. Namun, pengelolaannya menghadapi kendala seperti masalah anggaran dan ketidakefektifan menghasilkan pemasukan, menurut M. Firdaus Agung Kunto, Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan KKP. “Tetapi, jika pengelolaan MPA bisa optimal, dampaknya akan terasa lebih cepat pada penguatan swasembada pangan laut yang diharapkan bisa terwujud pada 2028 mendatang,” ucap Kunto.
Pemerintah menegaskan komitmen melalui alokasi anggaran Rp139,4 triliun untuk peningkatan produksi pangan nasional, termasuk perikanan, sebagai prioritas kedaulatan pangan. Produksi perikanan 2024 mencapai 24,7 juta ton, dengan potensi lestari perikanan tangkap 12,01 juta ton per tahun. “Sebagai negara kepulauan, tentu ini momentum baik bagaimana kita menggali dan mengelola sumber protein ini untuk masyarakat,” kata Budi Sulistyo, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP. Paradoks antara kemiskinan massal dan potensi kelautan yang besar menuntut pengelolaan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat. []
Admin05