TEL AVIV — Pemerintah Israel mengumumkan pada Minggu (18/05/2025) bahwa mereka akan mengizinkan masuknya pasokan makanan dalam jumlah sangat terbatas ke Jalur Gaza. Keputusan ini diambil di tengah meningkatnya tekanan internasional dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di wilayah tersebut. “Israel akan mengizinkan masuknya jumlah makanan dasar bagi penduduk guna mencegah terjadinya krisis kelaparan di Jalur Gaza,” demikian disampaikan kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dikutip dari Anadolu Agency. Senin (19/05/2025)
Langkah tersebut diambil berdasarkan rekomendasi militer Israel dan kebutuhan operasional yang berkaitan dengan kelanjutan Operasi Gideon’s Chariot — serangan darat besar-besaran di Gaza utara dan selatan yang bertujuan untuk menghancurkan kekuatan Hamas. Disebutkan pula bahwa krisis kelaparan yang berlarut dapat membahayakan kelanjutan operasi militer tersebut. Oleh karena itu, pengiriman bantuan ini menjadi bagian dari strategi militer dan bukan semata-mata alasan kemanusiaan.
Media penyiaran publik Israel, KAN, mengutip sumber anonim yang menyatakan bahwa kebijakan ini bersifat sementara dan diperkirakan hanya berlangsung selama sekitar satu minggu. Dalam periode ini, pusat-pusat distribusi bantuan akan dibentuk terutama di Gaza selatan. Bantuan akan diawasi oleh militer Israel dan dikelola oleh kontraktor asal Amerika Serikat. Israel dan AS saat ini mendorong dua skema distribusi bantuan. Menurut laporan, tujuan akhirnya adalah memindahkan warga dari Gaza utara ke wilayah selatan, menjadikan Kota Rafah sebagai pusat utama distribusi kemanusiaan.
GESEKAN POLITIK DAN UPAYA GENCATAN SENJATA
Sebelumnya, harian Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Netanyahu telah memberitahu para anggota Kabinet Keamanan tentang keputusan membuka akses bantuan. Namun, beberapa menteri, termasuk Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir, menyuarakan penolakan dan meminta pemungutan suara. Permintaan ini disebut telah ditolak oleh Netanyahu. Langkah Netanyahu ini juga tampak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya bahwa pembebasan tentara Israel-AS, Edan Alexander, oleh Hamas dilakukan “tanpa syarat”.
Namun, Hamas menyatakan sebaliknya. Mereka menyebut bahwa pembebasan Alexander adalah bagian dari kesepakatan yang lebih luas terkait bantuan dan gencatan senjata. “Kami mengharapkan, berdasarkan kesepahaman yang telah dicapai bersama pihak Amerika dan diketahui para mediator, bahwa bantuan kemanusiaan akan segera mulai masuk ke Jalur Gaza, seruan untuk gencatan senjata permanen akan dikumandangkan, dan negosiasi menyeluruh akan digelar untuk semua isu demi mencapai keamanan dan stabilitas di kawasan. Inilah yang kami harapkan tercapai,” tambah pernyataan itu.
KONDISI KEMANUSIAAN MEMBURUK, TUDUHAN KEJAHATAN PARANG MENINGKAT
Situasi di Gaza telah memasuki tahap kritis. Lebih dari 2,4 juta penduduk kini sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan, menurut data Bank Dunia. Sejak 2 Maret, Israel menutup seluruh jalur masuk bantuan ke Gaza, memutus pasokan makanan, air, dan obat-obatan. Sejak ofensif militer Israel dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 53.000 warga Palestina dilaporkan tewas — sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) yang hingga kini masih berlangsung. Sementara itu, negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas terus berjalan di Doha, Qatar, dengan harapan tercapainya kesepakatan pertukaran tahanan serta gencatan senjata permanen. []
Redaksi02
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan