PALANGKA RAYA — Ketika pemerintah gencar berbicara soal transformasi digital dan efisiensi birokrasi, realitas di lapangan justru menunjukkan jurang besar antara wacana dan pelaksanaan. Salah satu buktinya terlihat di Kantor Samsat Kalimantan Tengah (Kalteng), yang hingga kini masih mengandalkan sistem pembayaran tunai. Kondisi ini bukan sekadar soal keterlambatan teknis, tetapi mencerminkan betapa lambannya reformasi digital dalam pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Fraksi Partai Demokrat DPRD Kalteng menjadi pihak yang paling vokal menyoroti persoalan ini. Ketua Fraksi Demokrat, Hero Harapanno Mandouw, menegaskan bahwa tanpa penerapan sistem pembayaran non-tunai yang menyeluruh, mustahil daerah bisa mengejar target PAD yang lebih transparan dan efisien. “Peningkatan PAD tidak mungkin berhasil tanpa adanya efisiensi, transparansi, dan perluasan basis penerimaan dengan sistem pembayaran non-tunai serta aplikasi terintegrasi,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
Hero menyayangkan, di tengah era digital yang serba cepat, transaksi di kasir Kantor Samsat Kalteng masih dilakukan secara tunai. Padahal, teknologi pembayaran seperti QRIS atau sistem transaksi online lainnya telah lama tersedia dan terbukti efektif di berbagai daerah lain di Indonesia. “Padahal teknologi dan sistem pembayaran non-tunai seperti QRIS sudah tersedia dan mudah diterapkan,” tegasnya.
Ia menilai, keterlambatan penerapan sistem digital menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam membangun tata kelola keuangan yang bersih dan modern. Digitalisasi, menurutnya, bukan hanya alat bantu administrasi, melainkan kunci utama untuk menutup celah kebocoran anggaran, menekan praktik koruptif, serta mendorong kepatuhan wajib pajak.
Namun, Fraksi Demokrat juga menyoroti bahwa hingga kini belum ada strategi jelas dan terukur dari pemerintah daerah terkait efisiensi dan digitalisasi penerimaan PAD. “Kami belum melihat adanya strategi yang menyinggung soal efisiensi dan digitalisasi dalam dokumen tersebut,” tandas Hero.
Kritik ini sekaligus menjadi tamparan bagi jajaran pemerintah provinsi. Di saat pemerintah pusat mendorong konsep Smart Governance dan transparansi publik, Kalteng justru tertinggal dalam hal fundamental seperti digitalisasi pembayaran pajak kendaraan. Ironisnya, masyarakat sudah lebih siap dibanding lembaganya sendiri.
Penerapan sistem non-tunai semestinya menjadi prioritas utama, bukan hanya demi kemudahan publik, tetapi juga untuk menegaskan bahwa era “uang meja” dan transaksi manual sudah saatnya ditinggalkan. Ketika birokrasi masih bergantung pada sistem tunai, maka risiko kebocoran, manipulasi, hingga pungutan liar akan selalu terbuka lebar.
Digitalisasi bukan sekadar jargon reformasi. Ia adalah cermin keseriusan pemerintah dalam menata keuangan publik secara transparan dan akuntabel. Tanpa langkah nyata, pembahasan soal efisiensi hanya akan menjadi retorika yang berulang setiap tahun tanpa hasil konkret. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan