JAKARTA – Penunjukan Burhanuddin Abdullah sebagai Ketua Tim Pakar Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menimbulkan polemik di kalangan masyarakat dan pengamat ekonomi. Burhanuddin, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), dikenal luas karena kasus korupsi yang melibatkan dirinya pada tahun 2008. Kasus tersebut berujung pada vonis lima tahun penjara, yang kini menjadi sorotan dalam penunjukannya untuk posisi penting di BPI Danantara, lembaga yang baru dibentuk untuk mengelola dan mengoptimalkan aset negara, terutama di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
BPI Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025, dengan tujuan utama untuk mengelola aset negara yang selama ini kurang optimal. Namun, kehadiran Burhanuddin dalam struktur kepemimpinan lembaga tersebut menimbulkan keraguan di kalangan banyak pihak. Pengamat politik Dedi Kurnia Syah mengkritisi keputusan ini dengan menyatakan, “Sosok yang tidak berintegritas dan memiliki rekam jejak kasus justru menjadi tokoh kunci di Danantara.” Kritik ini mencerminkan kekhawatiran publik bahwa penunjukan seseorang dengan latar belakang kontroversial dapat merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang baru dibentuk tersebut.
Selain itu, penunjukan Burhanuddin menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi pemerintahan dalam upaya pemberantasan korupsi. Beberapa kalangan menilai bahwa langkah ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan menjaga integritas lembaga negara. Terlepas dari kritik yang muncul, Burhanuddin sendiri menyatakan bahwa Danantara adalah solusi untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara yang selama ini belum maksimal. Ia menyebutkan, “Danantara adalah ‘obat mujarab’ untuk mengatasi permasalahan pengelolaan aset negara yang selama ini kurang optimal.”
Namun, meski Burhanuddin percaya pada potensinya, skeptisisme tetap muncul. Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menekankan pentingnya transparansi dan profesionalisme dalam penunjukan pejabat di lembaga strategis seperti Danantara. Ia juga mengingatkan bahwa ketidakseimbangan dalam proporsi dewan direksi dan komisaris dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan merugikan reputasi lembaga tersebut di mata investor global.
Keterlibatan Burhanuddin dengan Muliaman Hadad dalam struktur kepemimpinan Danantara juga memunculkan kekhawatiran terkait independensi lembaga ini. Kedekatan keduanya dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan Danantara untuk beroperasi secara mandiri dan profesional tanpa adanya intervensi politik.
Masyarakat kini menantikan peresmian Danantara dengan harapan besar bahwa lembaga ini dapat membuktikan komitmennya dalam pengelolaan aset negara yang transparan dan akuntabel. Keberhasilan Danantara akan sangat bergantung pada integritas dan profesionalisme para pemimpinnya, serta kemampuannya untuk membangun kepercayaan dari publik dan investor. Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa penunjukan pejabat di lembaga strategis seperti Danantara didasarkan pada rekam jejak yang bersih dan kompetensi yang memadai, guna menjaga kredibilitas dan tujuan pembentukan lembaga ini dapat tercapai secara optimal. []
Redaksi03