Kaki Gajah Bangkit, Warga Jadi Korban

TANA TIDUNG – Laporan lima kasus penyakit kaki gajah di Kabupaten Tana Tidung (KTT) seharusnya menjadi tamparan keras bagi kinerja pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan (Dinkes) KTT. Bukan sekadar catatan medis, kasus ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan masyarakat di daerah masih jauh dari kata tuntas, meski berbagai program eliminasi filariasis sudah digembar-gemborkan bertahun-tahun.

Kepala Dinkes Tana Tidung, Mohammad Sarif, menyebut lima warga yang terinfeksi kaki gajah terdiri dari tiga warga lokal dan dua warga transmigran asal Jawa. “Jadi dua orang itu memang sudah tervonis sebelum pindah ke sini cuman tidak diobati, jadi saat pemeriksaan itu di sistem kelihatan dari hasilnya, dan tiganya memang warga lokal,” katanya, Selasa (21/10/2025).

Pernyataan ini seakan menggeser tanggung jawab. Alih-alih melihat fakta bahwa penyakit ini masih menular di wilayah Tana Tidung, penjelasan tersebut justru terdengar seperti pembelaan seolah dua penderita bukan “tanggung jawab penuh” daerah ini. Padahal, begitu mereka tinggal dan beraktivitas di Tana Tidung, penanganan serta pengawasan medis menjadi kewajiban pemerintah setempat.

Sarif menambahkan, hasil verifikasi kasus itu keluar setelah proses eliminasi dari pemeriksaan pada 2024 lalu, dan hasilnya baru diumumkan pada 2025. “Waktu pengobatan itu 12 hari sampai pemulihan, jadi setiap hari diberikan obat, jika tidak ada perubahan maka akan dilanjutkan pengobatan lebih lanjut,” jelasnya.

Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan: mengapa butuh waktu hampir setahun untuk memastikan hasil verifikasi penyakit menular yang berpotensi menyebar di masyarakat? Dalam situasi seperti ini, keterlambatan deteksi bukan hanya soal administrasi, tapi bisa menjadi faktor penyebaran baru.

Lebih ironis lagi, Dinkes KTT tampak lebih menonjolkan langkah pengobatan dibanding pencegahan. Padahal, filariasis atau kaki gajah disebabkan oleh gigitan nyamuk pembawa cacing filaria yang dapat dicegah melalui pola hidup bersih, penyemprotan lingkungan, serta pemberian obat massal secara berkala. Jika program pencegahan berjalan efektif, seharusnya tidak ada kasus baru di wilayah kecil seperti Tana Tidung.

Sayangnya, upaya promotif dan preventif masih sering kalah oleh kegiatan seremonial dan laporan “eliminasi penyakit” di atas kertas. Realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya: masyarakat di pelosok belum sepenuhnya mendapat edukasi kesehatan yang memadai.

Kaki gajah bukan hanya penyakit yang menyebabkan cacat fisik, tetapi juga menimbulkan stigma sosial. Ketika kasus ini kembali muncul di Tana Tidung, artinya kesadaran masyarakat belum benar-benar terbentuk, dan pengawasan kesehatan di tingkat desa masih lemah. Dinkes seharusnya tidak sekadar mencatat dan memberi obat, tetapi juga memastikan bahwa edukasi, pencegahan, dan pendataan berjalan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Tanpa langkah serius di akar masalah yakni pemberantasan sarang nyamuk dan pengawasan kesehatan masyarakat secara aktif kasus kaki gajah hanya akan menjadi berita berulang setiap tahun. Pemerintah daerah perlu berhenti bersembunyi di balik laporan eliminasi dan mulai bekerja nyata di lapangan. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com