PALANGKA RAYA — Di tengah gencarnya kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Kalimantan Tengah kembali membara. Data resmi menunjukkan ribuan titik api masih bermunculan sepanjang 2025, menandakan lemahnya sistem pengawasan dan kesiapsiagaan di lapangan.
Berdasarkan data SiPongi dan Posko Krisis Karhutla Provinsi Kalteng, sejak 1 Januari hingga 15 Oktober 2025 tercatat 7.769 hotspot, 761 kejadian kebakaran, dan luasan terbakar mencapai 1.758,36 hektare. Angka yang seolah menjadi langganan tahunan meski berbagai program pencegahan terus diklaim berjalan.
Dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Penanganan Karhutla 2025 di Aula Jayang Tingang, Kamis (16/10/2025), pemerintah kembali menyoroti pola kebakaran yang makin meluas, bukan hanya di lahan gambut tetapi juga di wilayah kering. Namun, publik mempertanyakan: jika setiap tahun dievaluasi, mengapa api tetap kembali datang?
Kabid Kedaruratan dan Logistik BPB-PK Kalteng, Alpius Patanan, menyebutkan lonjakan titik panas terjadi pada puncak kemarau. “Jumlah hotspot tertinggi tercatat pada September, yaitu sebanyak 3.305 titik dengan 204 kejadian kebakaran,” ujarnya.
Ironisnya, meski September mencatat jumlah hotspot tertinggi, luasan terdampak terbesar justru terjadi pada Agustus, yakni 686,72 hektare. “Artinya, intensitas kebakaran bisa lebih tinggi meski jumlah hotspot tidak selalu yang paling banyak,” tambahnya.
Kabupaten Katingan menjadi wilayah dengan hotspot terbanyak, mencapai 1.445 titik, disusul Kapuas dan Pulang Pisau. Namun, Palangka Raya menempati posisi teratas dalam jumlah kejadian kebakaran, mencapai 224 kasus, sedangkan Kapuas mengalami dampak terluas, 457,11 hektare.
“Jadi kalau dilihat, pola karhutla di Kalteng tahun ini lebih menyebar. Tidak hanya di lahan gambut, tetapi juga di lahan kering yang mudah terbakar,” ujar Alpius.
Secara nasional, Kalimantan Tengah menyumbang 0,59 persen dari total luas karhutla Indonesia 2025, mencapai 296.858 hektare. Meski “hanya” di peringkat ke-20 nasional, angka ini mencerminkan masih lemahnya pengawasan di daerah-daerah rawan.
“Posisi kita di tingkat nasional relatif kecil, tapi tetap perlu diwaspadai karena sebaran hotspot cukup merata di hampir seluruh kabupaten dan kota,” tegasnya.
Pemerintah daerah kerap mengklaim telah memperkuat upaya pengendalian. Alpius memaparkan, sejak April–Mei 2025, BPB-PK Kalteng membentuk 75 kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) di 52 kecamatan dan 75 desa, dengan total 1.125 personel.
“Mereka adalah garda terdepan di lapangan, terutama di wilayah pedesaan yang sulit dijangkau,” katanya. Namun, berbagai laporan di lapangan menunjukkan keterbatasan alat, minimnya insentif, dan lemahnya koordinasi antarinstansi.
BPB-PK menyebut telah menyalurkan 385 set APD, 77 pompa portable, dan ratusan selang, namun upaya ini tampak belum sebanding dengan luasnya area rawan kebakaran yang membentang di Kalteng.
Posko Satgas Pengendali Karhutla juga diklaim aktif sejak 11 Juni hingga 30 September 2025. “Selama musim kemarau, kami melakukan patroli, sosialisasi, pengecekan sarana prasarana, hingga pembasahan wilayah rawan,” terang Alpius.
Namun, bagi masyarakat yang tiap tahun terpapar asap dan kehilangan lahan, aktivitas seperti “patroli dan sosialisasi” sudah terdengar seperti jargon rutin tanpa perubahan nyata.
“Biasanya berlangsung selama lima bulan, dari Juni sampai Oktober, karena itu fase paling rawan karhutla,” pungkasnya.
Ironinya, pola kebakaran yang terus berulang seolah menegaskan bahwa sistem pencegahan masih lemah di tahap paling dasar: pengawasan, penegakan hukum, dan pengelolaan lahan yang berkeadilan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan