PALANGKA RAYA – Modernisasi hukum yang semakin kompleks tidak menyurutkan semangat sekelompok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) untuk menengok kembali sejarah panjang hukum adat Dayak. Justru di tengah derasnya arus regulasi modern, mereka menemukan inspirasi dari sebuah perjanjian adat berusia lebih dari satu abad, yakni Perjanjian Tumbang Anoi 1894.
Kelompok mahasiswa yang tergabung dalam tim PKM RSH Kalawit ini berhasil meloloskan riset mereka dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) skema pendanaan tahun 2025. Tim tersebut beranggotakan lima orang: Alpi Emkananta Tarigan sebagai ketua, bersama empat rekannya, Fuji Syifa Safari, Vindira Edka Juniar, Naomi Artika Simamora, dan Tio Evangelish Menullang.
Dalam kajiannya, mereka mengusung judul riset “Tumbang Anoi: Manifestasi Teori Living Law Eugen Erlich dalam Preferensi Penyelesaian Sengketa Berbasis Kearifan Lokal Suku Dayak Kalimantan Tengah”. Fokus penelitian ini adalah menggali nilai hukum adat Dayak yang tertuang dalam Perjanjian Tumbang Anoi, untuk kemudian dilihat relevansinya dalam penyelesaian sengketa masyarakat saat ini.
Menurut Alpi, keunikan hukum adat Dayak membuat riset ini layak diperdalam. “Kami tertarik mengangkat Tumbang Anoi karena perjanjian ini tidak hanya berusia tua, tetapi juga menjadi bukti nyata dari teori Living Law Eugen Erlich, dimana hukum hidup dalam masyarakat dan menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan sengketa,” ujarnya, Senin (08/09/2025).
Berbeda dengan hukum nasional yang tersusun dari banyak regulasi, hukum adat Dayak justru hanya bersumber dari satu aturan utama, yakni Perjanjian Tumbang Anoi. Bahkan, dokumen yang lahir pada tahun 1894 itu tercatat lebih tua dibanding Undang-Undang Dasar 1945 dengan selisih 51 tahun. Fakta ini memperlihatkan betapa jauh hari sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Dayak telah memiliki sistem hukum tertulis yang menjadi pedoman bersama.
Tidak berhenti di situ, keberadaan hukum adat Dayak juga diperkuat oleh struktur kelembagaan yang jelas. Ada Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak, Kedamangan, Kemantiran, hingga Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak. Keseluruhan lembaga ini mendapat pengakuan resmi melalui peraturan daerah, sehingga keberlanjutan hukum adat semakin terjamin.
Alpi menegaskan, penelitian mereka bukan hanya soal menggali masa lalu, tetapi juga menjaga agar nilai-nilai hukum adat tetap relevan di era modern. “Bagi kami, ini adalah warisan hukum yang penting untuk terus dikaji dan dilestarikan, terutama di era sekarang ketika masyarakat mencari penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan berbasis kearifan lokal,” tambahnya.
Bagi tim PKM RSH Kalawit, keberhasilan lolos pendanaan tidak hanya menjadi prestasi akademik, melainkan juga pintu masuk untuk memperkenalkan hukum adat Dayak ke ranah nasional. Mereka berharap kajian ini bisa memberi kontribusi nyata dalam pengembangan ilmu hukum, sekaligus memperkuat pemahaman publik bahwa kearifan lokal mampu berjalan beriringan dengan sistem hukum modern.
Konteks penelitian ini juga memperlihatkan tantangan nyata di lapangan. Modernisasi hukum kerap dianggap satu-satunya jawaban dalam menyelesaikan konflik, padahal masyarakat adat sudah memiliki sistem penyelesaian sengketa yang sederhana, efisien, dan berakar pada budaya setempat. Dengan demikian, penelitian ini sekaligus menjadi kritik akademis terhadap praktik hukum formal yang terkadang tidak menjangkau akar persoalan sosial di daerah.
Langkah mahasiswa UPR ini memperlihatkan bagaimana generasi muda masih memberi ruang bagi nilai-nilai tradisional. Bagi mereka, menjaga eksistensi Perjanjian Tumbang Anoi berarti ikut melestarikan identitas hukum masyarakat Dayak yang sudah terbukti mampu bertahan lintas generasi.
Prestasi ini diharapkan mampu mendorong lahirnya penelitian-penelitian serupa yang mengangkat kearifan lokal. Dengan demikian, modernisasi hukum tidak melulu berarti meninggalkan warisan lama, melainkan justru memperkaya dengan nilai-nilai tradisional yang relevan untuk masa kini. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan