Kebijakan Baru Trump: Deportasi Warga Asing Pro-Palestina di AS

Washington, D.C. – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengeluarkan perintah eksekutif yang dapat berdampak besar terhadap mahasiswa internasional yang mendukung Palestina. Pada hari Rabu (29/01/2025).

Trump menginstruksikan untuk mendeportasi mahasiswa asing yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina atau yang menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Palestina.

Perintah ini datang hanya sepekan setelah Trump mengumumkan larangan perjalanan yang menyasar individu dengan “ideologi kebencian”, yang pada dasarnya berusaha untuk membatasi gerakan pro-Palestina di kampus-kampus universitas di AS.

Gerakan pro-Palestina, yang muncul sebagai respons terhadap serangan Israel di Gaza yang telah menyebabkan puluhan ribu korban jiwa, telah mendapat perhatian besar di kampus-kampus AS.

Sebagai bagian dari langkah tersebut, perintah eksekutif baru ini bertujuan untuk mengawasi aktivitas mahasiswa internasional dan mendesak universitas untuk melaporkan mahasiswa yang terlibat dalam protes atau menyuarakan sentimen anti-Israel. Langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk membungkam suara-suara pro-Palestina di dunia akademik.

“Perintah ini akan membuat universitas menjadi bagian dari Departemen Keamanan Dalam Negeri,” ujar Eric Lee, seorang pengacara imigrasi yang mewakili mahasiswa yang menghadapi ancaman deportasi karena aktivitas pro-Palestina mereka.

“Ini memberi tekanan pada universitas untuk memantau dan melaporkan apa yang dikatakan mahasiswa, apa yang diajarkan di kelas, dan bahkan apa yang ditulis oleh staf pengajar,” lanjutnya.

Trump juga menegaskan bahwa perintah eksekutif tersebut dimaksudkan untuk memerangi antisemitisme, dengan memberi instruksi kepada lembaga federal untuk memberikan panduan bagi universitas terkait cara menyaring mahasiswa asing.

Salah satu ketentuan dalam perintah tersebut menyebutkan bahwa warga negara asing yang mendukung atau terlibat dalam aktivitas yang dianggap terorisme tidak diizinkan untuk tinggal atau memasuki AS.

Perintah tersebut mendapatkan respon yang beragam, termasuk dari kelompok mahasiswa yang mendukung Palestina. Beberapa mahasiswa yang tergabung dalam kelompok-kelompok seperti “Jewish Voice for Peace” dan “Students for Justice in Palestine” menyebut perintah ini sebagai upaya untuk menekan kebebasan berpendapat di kalangan mahasiswa.

Momodou Taal, seorang kandidat PhD dari Universitas Cornell yang juga aktivis pro-Palestina, mengungkapkan bahwa ia tidak terkejut dengan kebijakan ini, mengingat peningkatan tekanan terhadap gerakan pro-Palestina selama setahun terakhir.

Di sisi lain, kelompok pro-Israel seperti Betar, yang telah menyusun daftar mahasiswa dan staf pengajar yang mendukung Palestina, menyambut baik kebijakan ini. Mereka mengklaim bahwa langkah Trump adalah respons terhadap radikalisasi yang berkembang di kalangan beberapa mahasiswa dan kelompok pro-Palestina di AS.

Perintah eksekutif ini berpotensi memicu gugatan hukum, namun sudah ada sejumlah organisasi yang mulai mengidentifikasi individu-individu yang menurut mereka layak untuk dideportasi.

Beberapa nama, termasuk Momodou Taal, muncul dalam daftar yang dikeluarkan oleh kelompok Zionis. Namun, kelompok-kelompok pro-Palestina memandang kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk membungkam suara-suara yang kritis terhadap kebijakan Israel, terutama di tengah meningkatnya ketegangan di Gaza.

Sejak dimulainya konflik di Gaza pada Oktober 2023, protes pro-Palestina di kampus-kampus AS meningkat signifikan, dengan banyak mahasiswa menyerukan agar universitas mereka menghentikan investasi di perusahaan yang terlibat dalam industri militer dan mendukung penutupan aktivitas yang menguntungkan perang.

Meskipun demikian, beberapa universitas dan organisasi mahasiswa di AS mulai menghadapi tekanan keras, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terkait dengan sikap mereka terhadap Palestina.

Langkah Trump ini dinilai sebagai kelanjutan dari kebijakan yang semakin tegas terhadap gerakan pro-Palestina di AS, yang sebelumnya sudah mendapatkan kritik dari banyak pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia yang khawatir tentang pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat di lingkungan akademis.

Sebagian pihak melihat kebijakan ini sebagai bagian dari tradisi tergelap dalam sejarah AS, yang merujuk pada langkah-langkah represi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan dengan kebijakan negara.

Pihak-pihak yang mendukung kebijakan ini, di sisi lain, memandangnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas dan melindungi integritas negara dari ancaman yang lebih besar. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com