PALANGKA RAYA – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mengalokasikan dana Rp 200 triliun ke perbankan di tengah melemahnya daya beli masyarakat memunculkan beragam diskusi. Salah satu pandangan datang dari kalangan akademisi Universitas Palangka Raya (UPR), yang menilai langkah ini memiliki peluang sekaligus tantangan besar bagi perekonomian nasional.
Suherman Juhari, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPR, menyebut kebijakan tersebut dapat dipahami secara rasional sebagai strategi menjaga likuiditas perbankan. Dengan likuiditas yang cukup, bank diharapkan tetap mampu menyalurkan kredit, terutama ke sektor riil.
“Dalam situasi daya beli masyarakat yang lemah, kredit produktif harus didorong supaya roda ekonomi bisa berputar. Jadi kebijakan ini bisa dimaknai sebagai stimulus lewat jalur perbankan agar uang beredar lebih cepat sampai ke sektor riil,” jelas Suherman, Jumat (12/09/2025).
Meski demikian, ia mengingatkan agar dana triliunan rupiah tersebut tidak hanya menjadi penguat neraca bank. “Kalau hanya diparkir di bank tanpa memperbesar penyaluran kredit ke sektor usaha produktif dan rumah tangga, efeknya ke perekonomian tentu terbatas,” tegasnya.
Menurut Suherman, kebijakan ini membawa dua sisi yang harus dicermati. Dari sisi positif, dana segar dapat mempercepat pemulihan ekonomi karena pelaku usaha, termasuk UMKM, memperoleh akses permodalan dengan biaya lebih rendah. Kondisi ini juga mampu menjaga stabilitas perbankan sehingga kepercayaan publik tetap terjaga.
Namun, sisi lain kebijakan ini juga menyimpan potensi risiko. “Tekanan fiskal bisa bertambah jika dana ini hanya jadi beban APBN tanpa multiplier effect yang signifikan. Risiko lain, jika kredit yang disalurkan tidak produktif, bisa menambah angka kredit macet (NPL) di masa depan,” jelasnya.
Agar tujuan kebijakan tercapai, Suherman menekankan perlunya pengawasan ketat. Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia diminta memastikan dana benar-benar mengalir ke sektor-sektor prioritas. Ia menilai ada sejumlah langkah yang wajib ditempuh, mulai dari penetapan target kredit yang jelas, transparansi laporan, hingga larangan penggunaan dana hanya untuk instrumen keuangan seperti surat berharga.
“Dana itu harus benar-benar turun ke sektor yang menciptakan lapangan kerja seperti pertanian, industri pengolahan, hingga UMKM,” ujarnya menekankan.
Selain itu, Suherman mengajak publik untuk ikut memantau efektivitas kebijakan melalui indikator sederhana. Ia menyebut pertumbuhan kredit produktif, peningkatan daya beli masyarakat, stabilitas inflasi, serta kualitas kredit dengan NPL rendah sebagai ukuran yang bisa dievaluasi bersama.
“Indikatornya antara lain pertumbuhan kredit produktif, perbaikan daya beli masyarakat, stabilitas inflasi, serta kualitas kredit yang tetap sehat dengan NPL rendah,” ungkapnya.
Menurutnya, enam hingga dua belas bulan ke depan akan menjadi periode krusial untuk melihat arah kebijakan ini. Hasil evaluasi dalam rentang waktu tersebut akan menentukan apakah strategi pemerintah berhasil mendorong pemulihan ekonomi atau justru perlu disesuaikan kembali.
“Kalau indikator-indikator itu bergerak positif, maka kebijakan bisa disebut berhasil. Tapi kalau sebaliknya, artinya perlu evaluasi serius terhadap mekanisme penyaluran yang dilakukan perbankan,” pungkasnya.
Dengan demikian, kebijakan kucuran dana Rp 200 triliun ke perbankan bukan hanya soal besarnya angka, melainkan bagaimana instrumen tersebut dikelola dan diarahkan. Tanpa pengawasan ketat serta keberanian menyalurkan kredit ke sektor produktif, manfaatnya bagi masyarakat luas dikhawatirkan tidak akan maksimal. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan