Kekerasan di Sekolah Korea Utara Picu Angka Putus Sekolah

PYONGYANG – Baru-baru ini, Korea Utara (Korut) mempromosikan adopsi Undang-Undang Pengasuhan Anak sebagai contoh model perlindungan hak asasi manusia (HAM) kepada komunitas internasional.

Surat kabar milik negara, Rodong Sinmun, menyatakan bahwa pengasuhan anak, bahkan di daerah pegunungan terpencil, bisa berjalan dengan baik.

Namun, klaim tersebut jauh dari kenyataan, terutama terkait kondisi dunia pendidikan di negara tersebut.

Seo Bella, seorang wanita yang kini menjadi mahasiswa di Korea Selatan, membagikan pengalaman kelamnya sebagai anak didik di Korea Utara.

Ia mengungkapkan, untuk benar-benar memahami situasi HAM di negara tersebut, masyarakat internasional harus melihat lebih dalam ke dalam praktik yang tersembunyi di balik propaganda yang dibangun oleh rezim Kim Jong-un.

Seo, yang lahir dan hidup di Korea Utara hingga usia 15 tahun sebelum akhirnya melarikan diri ke Korea Selatan, ingin membagikan kisah pelanggaran HAM yang dialaminya selama masa sekolah.

Dalam keterangannya, Seo menceritakan masa-masa kelamnya di sekolah yang sempit, dimana rumah dan sekolah menjadi seluruh dunia bagi dirinya.

Suasana yang mengekang itu, menurutnya, seperti “suara alarm yang disetel untuk berbunyi setiap 10 menit,” terus mengingatkan dirinya akan ketidakberdayaannya.

“Dunia yang luas namun sempit itu menyiksa saya setiap hari,” ungkap Seo Bella.

Seo juga mengungkapkan bahwa seluruh biaya operasional sekolah, termasuk pemeliharaan fasilitas dan gaji guru, dibebankan kepada para siswa. Jika mereka tidak mampu membayar biaya tersebut, mereka akan menghadapi hukuman fisik atau perundungan di dalam kelas.

Guru-guru di Korea Utara, menurutnya, secara paksa mengumpulkan biaya ini dari siswa. Mereka yang tidak dapat membayar akan dipermalukan dan merasa tertekan.

“Pada akhirnya, semua beban ini jatuh ke pundak orang tua. Jika mereka tidak mampu menanggung biaya tersebut, siswa akan memilih untuk putus sekolah,” jelasnya.

Seo Bella juga menceritakan bahwa kekerasan fisik dan hukuman menjadi hal yang biasa di sekolah-sekolah Korea Utara. Para siswa yang tidak bisa membayar biaya pendidikan dihukum dengan cara dipukul menggunakan tongkat oleh para guru, yang menghantam bagian tubuh seperti tangan, bokong, paha, hingga betis.

Kekerasan fisik ini, menurutnya, menyebabkan trauma yang mendalam pada siswa-siswa muda.

Namun, yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa di Korea Utara, tidak ada pengakuan terhadap pelecehan anak, dan kekerasan terhadap anak-anak diterima sebagai bagian alami dari kehidupan.

Lebih jauh lagi, banyak siswa di Korea Utara lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja daripada belajar. Mereka dipaksa untuk terlibat dalam berbagai bentuk kerja paksa, seperti pemulihan bencana, bertani, atau mengumpulkan besi tua.

“Saya telah dicuci otak oleh pendidikan ideologi yang berulang-ulang di Korea Utara dan tidak pernah mempertanyakan mobilisasi paksa ini,” tambah Seo Bella.

Ia menambahkan bahwa setelah pindah ke Korea Selatan, ia baru menyadari bahwa sekolah harusnya menjadi tempat bagi siswa untuk belajar, bukan untuk dijadikan pekerja paksa. “Mobilisasi paksa di Korea Utara merampas hak belajar siswa, yang jelas merupakan pelanggaran HAM,” ujar Seo.

Lebih dari 70 tahun sejak pembagian Korea Utara dan Korea Selatan, perbedaan mencolok antara keduanya semakin jelas. Sementara Korea Selatan berkembang pesat, Korea Utara masih terjebak di masa lalu.

Negara tersebut bahkan masih memblokir akses internet dan terisolasi dari dunia luar, membuat warganya hidup seperti di tahun 1950-an.

“Tidak ada kebebasan bergerak, bahkan di dalam Korea Utara. Mereka yang mengkritik Kim Jong-un dikirim ke kamp penjara politik atau dieksekusi, dan keluarga mereka juga menghadapi balas dendam,” tambah Seo.

Seo Bella juga mengungkapkan bahwa banyak siswa muda di Korea Utara yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan dan akhirnya dipaksa menjadi pekerja paksa. Hal ini, menurutnya, menunjukkan betapa rendahnya perhatian negara terhadap hak asasi manusia.

“Korea Utara terus menipu dunia dengan memperkenalkan propaganda mereka, seolah-olah mereka menghormati HAM,” tandasnya.

Dalam wawancara terakhirnya, Seo Bella mendesak komunitas internasional untuk terus memberikan perhatian pada situasi pendidikan di Korea Utara.

Ia berharap suatu saat nanti, para siswa di negara tersebut dapat belajar dengan bebas tanpa ketakutan akan kekerasan atau pembatasan hak mereka. []

Redaksi03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X