NUSA TENGGARA BARAT – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Barat mencatat sebanyak 976 kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi hingga Maret 2025. Jumlah tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan karena mencerminkan bahwa kekerasan masih berlangsung luas, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya aman bagi korban.
Ketua Suara Perempuan Nusantara (SPN), Nur Khotimah, menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap kekerasan hanya sebatas tindakan fisik. Padahal, bentuk kekerasan bisa bermacam-macam. “Banyak orang masih berpikir kekerasan itu hanya fisik. Padahal, kekerasan psikis, seksual, hingga ekonomi juga merusak dan sering kali berlangsung dalam senyap. Bahkan, ruang-ruang yang semestinya aman seperti sekolah, rumah ibadah, hingga institusi pendidikan tinggi pun tak luput dari kekerasan,” ujarnya.
Ia menegaskan, dari hampir seribu kasus yang tercatat, sebagian besar kekerasan terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan dominasi kekerasan seksual. “Sebagian besar kekerasan ini terjadi di ruang lingkup rumah tangga. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban adalah kekerasan seksual, diikuti kekerasan fisik, dan kekerasan psikis,” ungkapnya.
Nur Khotimah menyoroti pentingnya penciptaan ruang aman, tidak hanya secara fisik, melainkan juga sosial dan kultural. “Ketika perempuan tidak merasa aman menyuarakan pengalaman atau ketidakadilan yang mereka alami, di situlah kekerasan tumbuh dan terus hidup,” lanjutnya.
Sebagai bentuk komitmen terhadap upaya pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG), SPN bersama Institut Kapal Perempuan menyelenggarakan Lokakarya Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender pekan lalu di Kota Mataram. Kegiatan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat dan ditujukan untuk memperluas pemahaman terhadap bentuk-bentuk kekerasan dari perspektif struktural, budaya, serta hak asasi manusia.
Selama kegiatan berlangsung, para peserta diajak menelaah pola-pola kekerasan di lingkungan sekitar, mengidentifikasi akar ideologi yang melanggengkan ketimpangan gender, serta menyusun rencana aksi kolektif untuk mencegah KBG. Nur Khotimah menekankan bahwa kekerasan sering kali berakar dari kebiasaan yang dianggap remeh. “Sering kali komentar seksis, pengawasan terhadap tubuh perempuan, atau bahkan candaan yang merendahkan dianggap wajar. Padahal semua itu bagian dari ekosistem kekerasan yang lebih besar,” terangnya.
Para peserta dalam lokakarya tersebut menyatakan kesiapan mereka menjadi agen perubahan di lingkungan masing-masing. Melalui kegiatan ini, SPN berupaya meruntuhkan budaya diam yang kerap membungkam suara korban serta mendorong keterlibatan publik dalam upaya pencegahan kekerasan. “Kami ingin masyarakat sadar bahwa mencegah kekerasan bukan tugas negara atau lembaga saja. Ini tugas kolektif kita semua, orang tua, pendidik, tokoh agama, aparat, dan warga,” tegas Nur Khotimah. []
Redaksi11