DAMASKUS – Selama dua hari, Rihab Kamel (35) dan keluarganya terpaksa bersembunyi di kamar mandi rumah mereka di Baniyas, Suriah, menyaksikan kelompok bersenjata mengejar warga dari komunitas Alawite. Kota pesisir tersebut, yang menjadi basis utama minoritas Alawite, mengalami gelombang kekerasan yang paling parah sejak jatuhnya rezim Presiden Bashar al-Assad pada Desember 2024.
“Kami mematikan lampu dan bersembunyi. Saat berhasil melarikan diri dari kawasan Al-Qusour, jalan-jalan dipenuhi mayat,” kata Kamel kepada AFP, Senin (10/03/2025). Ia dan keluarganya akhirnya diselamatkan oleh sebuah keluarga Kristen yang mengantarkan mereka ke perbatasan Lebanon.
Dengan suara bergetar, Kamel bertanya, “Apa kesalahan yang telah dilakukan anak-anak ini? Apakah mereka dianggap pendukung rezim? Kami, orang Alawite, tidak bersalah.”
Kekerasan meletus pada Kamis (06/03/2025) setelah milisi pro-Assad menyerang pasukan keamanan pemerintah baru. Bentrokan sengit ini menewaskan puluhan orang dari kedua pihak. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), sebuah kelompok pemantau konflik Suriah, melaporkan bahwa setidaknya 745 warga sipil Alawite tewas di provinsi Latakia dan Tartus oleh pasukan keamanan dan sekutunya.
Presiden interim Suriah, Ahmed al-Sharaa—pemimpin kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang menggulingkan Assad—mengajak “persatuan nasional dan perdamaian sipil” dalam pidatonya di sebuah masjid di Damaskus, Minggu (09/03/2025).
“Insya Allah, kita akan dapat hidup bersama di negara ini,” ujarnya. Namun, di wilayah pesisir, warga Alawite justru menghadapi teror pembunuhan yang terorganisir.
Samir Haidar (67), warga Baniyas yang sebelumnya dipenjara selama 10 tahun karena bergabung dengan oposisi kiri anti-Assad, menceritakan bagaimana dua saudara dan keponakannya dibantai oleh kelompok bersenjata. “Mereka masuk rumah-rumah dan mengeksekusi warga,” kata Haidar. Ia berhasil melarikan diri ke lingkungan Muslim Sunni bersama istri dan anaknya, tetapi menegaskan, “Jika terlambat lima menit, saya pasti terbunuh.”
Haidar menggambarkan kekejaman yang terjadi di kompleks tempat tinggal saudaranya: kelompok bersenjata mengumpulkan penghuni di atap gedung dan menembaki mereka. “Keponakan saya selamat karena bersembunyi, tetapi saudara saya tewas bersama semua orang di sana,” tambahnya. Jenazah korban masih tergeletak di jalanan karena keluarga tidak diizinkan menguburkannya.
Di Latakia, seorang jurnalis AFP melaporkan bahwa kepala pusat budaya setempat, Yasser Sabbouh, diculik dan mayatnya dibuang di depan rumahnya. Di Jableh, seorang saksi yang meminta namanya tidak dipublikasikan, menyebutkan, “Lebih dari 50 orang dari keluarga dan teman saya dibunuh. Mayat-mayat mereka dikubur menggunakan buldoser ke dalam liang massa.”
Jaafar Ali (32), seorang pengungsi Alawite yang melarikan diri ke Lebanon, berharap agar negara-negara lain membuka jalur evakuasi kemanusiaan. “Kami menjadi pengungsi tanpa tanah air. Tidak ada masa depan di sini,” keluhnya.
Pemerintah baru Suriah sebelumnya berjanji untuk menjamin hak-hak minoritas, namun ketakutan terhadap balas dendam atas kekejaman rezim Assad selama bertahun-tahun terus membayangi komunitas Alawite. Di tengah janji rekonsiliasi, nyawa warga sipil tetap terancam dalam konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. []
Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah