Kelabui Sistem Judi Online, Lima Warga Diringkus di Bantul

YOGYAKARTA – Lima warga yang diduga menjalankan praktik perjudian daring melalui pengelolaan puluhan akun dilaporkan ditangkap aparat kepolisian di sebuah rumah kontrakan kawasan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelima tersangka bukan pemilik situs ataupun bandar besar, melainkan pemain yang diduga memanfaatkan celah sistem promosi untuk meraup keuntungan dari situs judi.

Penangkapan dilakukan oleh Subdit V Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda DIY setelah menerima laporan dari masyarakat. Meski demikian, hingga kini identitas pelapor yang mengaku dirugikan tidak diungkap secara terbuka, menimbulkan pertanyaan di kalangan publik. Muncul dugaan bahwa keluhan justru datang dari pihak situs judi yang merasa keuntungan mereka terdampak.

Kasubdit V Siber Polda DIY, AKBP Slamet Riyanto, menyebut salah satu tersangka berinisial RDS sebagai pengendali utama operasi ini. “RDS adalah otaknya. Dia menyiapkan link, komputer, dan mempekerjakan empat orang untuk main pakai akun-akun baru,” jelasnya.

Kelompok ini disebut menggunakan empat unit komputer serta ratusan nomor telepon seluler untuk menciptakan sekitar 40 akun baru setiap hari. Dengan memanfaatkan kecenderungan situs yang memberikan peluang menang lebih tinggi bagi akun baru, mereka menjalankan strategi bermain cepat untuk kemudian segera menarik dana yang diperoleh. Dalam sebulan, omzet mereka diklaim mencapai Rp50 juta.

Meskipun praktik tersebut tergolong sebagai aktivitas perjudian daring, penangkapan hanya dilakukan terhadap para pemain. Tak satu pun operator atau penyedia situs yang turut dibawa ke ranah hukum, sehingga menimbulkan kritik terhadap keberpihakan penegakan hukum.

“Yang ditangkap justru mereka yang bermain dengan modal kecil dan akal cerdik. Sementara penyedia sistem—yang memfasilitasi transaksi ilegal lintas negara—tetap bebas,” kata seorang pengamat siber secara terpisah.

Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang ancamannya mencapai 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.

Kasus ini menyoroti kerumitan dalam penanganan kejahatan digital, terutama saat pelaku lapangan ditindak sementara penyelenggara utama sistem daring ilegal justru belum tersentuh hukum.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com