JAWA BARAT – Upaya diversi atau penyelesaian perkara di luar jalur peradilan pidana terhadap kasus perundungan siswa SMKN 1 Cikarang Barat, AAI (16), berakhir tanpa kesepakatan. Pertemuan yang digelar di Aula Polsek Cikarang Barat pada Selasa (23/9/20025) itu mempertemukan pihak korban dengan para anak berhadapan dengan hukum (ABH), namun keluarga korban memilih untuk menolak.
Kanit Reskrim Polsek Cikarang Barat, Iptu Engkus Kusnadi, menjelaskan bahwa penolakan terjadi lantaran keluarga korban belum dapat menerima insiden yang menimpa AAI. Mereka merasa pihak sekolah maupun keluarga pelaku tidak menunjukkan empati maupun perhatian yang layak sebelum kasus ini mencuat ke ranah hukum.
“Jadi orang tuanya si korban ini masih belum menerima. Alasannya, kemarin-kemarin kemana aja?” kata Engkus saat dikonfirmasi, Rabu (24/09/2025).
Ia menambahkan, kekecewaan keluarga korban kian bertambah karena tidak ada pihak sekolah maupun keluarga pelaku yang hadir mendampingi sejak awal. “Jadi dia kecewanya itu dari pihak sekolah mana, enggak ada yang datang. Pihak keluarga juga enggak ada yang datang. Sekarang giliran sudah dipanggil polisi baru pada datang. Intinya mah, belum menerima,” ujar Engkus.
Dengan gagalnya diversi, polisi kini menyiapkan berkas perkara untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri. Proses diversi memang masih dapat kembali ditawarkan di tahap kejaksaan maupun pengadilan sebelum sidang dimulai.
“Kalau di kepolisian kan diversi itu wajib dilakukan. Nah karena diversi ini tidak berhasil, maka berkas akan segera kami lengkapi,” terang Engkus.
Sementara itu, Kapolsek Cikarang Barat AKP Tri Baskoro Bintang Wijaya mengungkapkan bahwa jumlah tersangka dalam kasus ini bertambah. Dari hasil pemeriksaan 13 saksi, polisi menetapkan satu tersangka baru sehingga total kini terdapat enam orang tersangka.
“Sementara ini tambah satu tersangka, dia anak berhadapan dengan hukum (ABH), jadi sekarang ada enam tersangka dari 13 saksi yang sudah diperiksa,” ujar Tri pada Senin (22/09/2025).
Meski status mereka sudah tersangka, keenam pelaku tidak dilakukan penahanan. Pertimbangannya, mereka masih berusia di bawah umur dan berstatus pelajar. “Tidak dilakukan penahanan, mengingat sebagian besar ABH dan masih sekolah,” jelasnya.
Sebagai gantinya, polisi mewajibkan para tersangka untuk melakukan wajib lapor dua kali seminggu. “Wajib lapor seminggu dua kali. Untuk yang sebelumnya, ada yang umurnya 18 tahun tapi statusnya masih pelajar seperti yang lain,” tambah Tri.
Kasus perundungan ini tidak hanya memunculkan luka bagi korban, tetapi juga membuka sorotan publik terhadap peran sekolah dan keluarga pelaku. Keluarga korban menilai, pihak sekolah seolah lepas tangan dalam mendampingi siswanya yang menjadi korban perundungan. Sikap yang sama juga terlihat dari keluarga pelaku yang baru menunjukkan kehadiran setelah dipanggil oleh aparat kepolisian.
Sikap ini memicu kekecewaan mendalam. Keluarga korban menilai, seandainya kepedulian pihak sekolah maupun keluarga pelaku muncul lebih awal, mungkin proses diversi dapat berjalan lebih mulus. Namun, ketiadaan perhatian di awal membuat mereka merasa tidak dihargai.
Kasus AAI menambah daftar panjang kasus perundungan di sekolah yang akhirnya masuk ke ranah hukum. Di satu sisi, keberadaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan ruang bagi diversi agar anak pelaku tidak langsung menghadapi persidangan. Namun, mekanisme ini tidak bisa berjalan tanpa kesediaan korban.
Penolakan keluarga AAI mencerminkan betapa trauma akibat perundungan tidak mudah dihapus dengan permintaan maaf semata. Apalagi, korban disebut mengalami tekanan psikologis sehingga meminta pindah sekolah.
Kasus ini juga menjadi refleksi bagi sekolah untuk lebih proaktif dalam mencegah serta menangani praktik perundungan di lingkungan pendidikan. Tanpa keterlibatan aktif sekolah dan keluarga, upaya hukum semata tidak cukup untuk menekan budaya kekerasan di kalangan pelajar.
Meski gagal di tingkat kepolisian, masih ada peluang diversi di kejaksaan maupun pengadilan sebelum proses persidangan dimulai. Namun, tanpa adanya perubahan sikap dan keseriusan dari pihak pelaku maupun sekolah, peluang itu tetap akan sulit diterima.
Kini, publik menanti langkah aparat berikutnya dalam menangani kasus ini. Proses hukum akan terus berjalan sembari membuka ruang penyelesaian lain. Namun yang jelas, kasus ini kembali mengingatkan bahwa perundungan tidak boleh dianggap sepele. Lebih dari sekadar kenakalan remaja, perundungan telah terbukti menimbulkan luka mendalam, baik secara fisik maupun psikologis, yang bisa memengaruhi masa depan korban. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan