Kematian Massal di Gaza Soroti Gagalnya Mekanisme Bantuan

GAZA – Dalam waktu hanya enam pekan terakhir, situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mencatat sebanyak 798 warga Palestina tewas saat mengantre bantuan kemanusiaan di wilayah konflik tersebut.

Data yang dikumpulkan OHCHR mencakup periode sejak 27 Mei hingga 7 Juli 2025. Juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, menyebut bahwa sebagian besar korban tewas berada di sekitar pos distribusi bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yayasan yang dibentuk dalam kerja sama Israel dan Amerika Serikat. “(Dari 27 Mei 2025) hingga 7 Juli, kami mencatat ada 798 orang terbunuh, termasuk 615 di sekitar lokasi Yayasan Kemanusiaan Gaza, dan 183 orang terbunuh diduga di jalur konvoi bantuan,” kata Shamdasani kepada wartawan di Jenewa, Swiss, dikutip dari Reuters, Sabtu (12/07/2025).

Menurut Shamdasani, sebagian besar luka yang diderita warga Palestina adalah akibat tembakan langsung, bukan karena kekacauan massa atau kelangkaan logistik. Sumber informasi yang digunakan OHCHR meliputi data rumah sakit, kerabat korban, organisasi lokal, dan lembaga kesehatan Palestina. “Sebagian besar cedera pada warga Palestina di sekitar pusat distribusi bantuan yang dicatat oleh OHCHR sejak 27 Mei adalah luka tembak,” ujarnya.

OHCHR pun menegaskan bahwa telah terjadi indikasi kejahatan kekejaman dalam insiden-insiden tersebut dan memperingatkan potensi terulangnya tragedi serupa. “Kami telah menyampaikan keprihatinan tentang kejahatan kekejaman yang telah dilakukan dan risiko kejahatan kekejaman lebih lanjut yang dilakukan di mana orang-orang mengantre untuk mendapatkan pasokan penting seperti makanan,” lanjut Shamdasani.

Laporan OHCHR ini muncul di tengah kecaman luas terhadap GHF, lembaga yang saat ini mengelola penyaluran bantuan ke Gaza pasca dihentikannya operasi distribusi oleh PBB pada Maret 2025. Sebanyak 169 organisasi kemanusiaan dari berbagai negara menandatangani pernyataan bersama yang mendesak agar mekanisme distribusi bantuan dikembalikan ke koordinasi penuh PBB, bukan melalui lembaga yang terafiliasi dengan pihak konflik.

Organisasi-organisasi itu menilai bahwa keberadaan GHF justru membahayakan keselamatan warga sipil, dengan sistem distribusi yang dianggap tidak netral dan memperparah kondisi di lapangan. Dalam keterangannya, perwakilan GHF membantah tudingan tersebut. “Faktanya serangan paling mematikan di situs bantuan adalah bisa dikaitkan dengan konvoi PBB,” kata juru bicara GHF.

GHF juga menyampaikan bahwa koordinasi yang lebih luas dengan badan-badan PBB dan organisasi kemanusiaan akan menjadi solusi. “Jika PBB dan kelompok kemanusiaan lainnya mau berkolaborasi dengan GHF, insiden kekerasan ini dapat diakhiri atau dikurangi secara signifikan,” katanya.

Sementara itu, militer Israel menyatakan tengah meninjau insiden korban massal yang terjadi di pos distribusi bantuan. Pihak militer mengeklaim telah melakukan langkah pencegahan seperti memasang pagar dan membuka rute tambahan untuk meminimalkan konflik antara warga dan pasukan.

Namun, langkah tersebut dianggap tidak cukup. Rencana Israel untuk membangun ‘kota kemanusiaan’ di Gaza selatan juga menuai kritik keras dari pengamat.

Profesor kajian Timur Tengah dari Universitas Turin, Italia, Lorenzo Kamel, menyebut rencana tersebut sebagai strategi pengalihan paksa warga sipil. “Proposal tersebut tidak ada hubungannya dengan tujuan kemanusiaan, tetapi lebih merupakan kamp pemindahan sebagai persiapan deportasi di selatan Jalur Gaza,” ujarnya dalam wawancara dengan Aljazeera. “Dengan kata lain, mereka yang tersisa kemungkinan besar akan dibunuh,” tambahnya.

Kritik ini bukan tanpa alasan. Dalam laporan Aljazeera, disebutkan bahwa dalam serangan udara sepanjang hari Sabtu, setidaknya 98 warga Palestina tewas, termasuk 38 orang yang sedang mengantre bantuan.

Di tengah pengetatan blokade dan serangan yang masih berlangsung, distribusi bantuan kini tak hanya soal pangan atau obat-obatan, melainkan juga soal hidup dan mati. Tragedi ratusan korban tewas saat mencari bantuan menjadi simbol dari sistem kemanusiaan yang tak lagi melindungi warga sipil di medan konflik. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com