GAZA – Hamas menyatakan telah menyerahkan semua jenazah sandera yang dapat ditemukan selama gencatan senjata di Jalur Gaza. Pernyataan itu disampaikan Brigade Ezzedine Al-Qassam setelah dua jenazah sandera lagi diserahkan kepada Israel melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada Rabu (15/10/2025) tengah malam.
Namun, pengakuan Hamas ini memunculkan pertanyaan kritis. Sebelumnya, dari total 28 jenazah sandera yang seharusnya diserahkan, Hamas hanya menyerahkan sembilan jenazah, termasuk satu jenazah yang kemudian dipastikan oleh Tel Aviv bukan sandera. Pernyataan Hamas bahwa “semua jenazah yang dapat diakses telah diserahkan” menimbulkan keraguan, mengingat masih banyak jenazah yang berada di reruntuhan bangunan dan memerlukan peralatan khusus untuk dievakuasi.
Dalam pernyataan resmi via media sosial, Brigade Ezzedine Al-Qassam menyebut pihaknya “menggunakan upaya besar” untuk mengevakuasi jenazah yang tersisa. Mereka menekankan kendala logistik dan kondisi lapangan sebagai hambatan utama, namun tidak merinci kapan semua jenazah dapat dipulangkan.
Sementara itu, militer Israel memastikan bahwa dua jenazah terakhir telah diterima ICRC dan sedang dibawa ke wilayah Israel untuk identifikasi forensik. Kedua jenazah itu diidentifikasi sebagai Inbar Hayman, seniman grafiti berusia 27 tahun dari Haifa, dan Mohammad al-Atrash, tentara keturunan Bedouin berusia 39 tahun. Proses identifikasi selesai sebelum jenazah diserahkan ke keluarga masing-masing.
Israel menegaskan bahwa Hamas masih harus mematuhi kesepakatan gencatan senjata yang mewajibkan penyerahan semua sandera, baik yang masih hidup maupun jenazah. Pernyataan bersama IDF dan badan keamanan Israel, Shin Bet, menekankan pentingnya langkah-langkah untuk memulangkan seluruh sandera.
Situasi ini menimbulkan kritik dari pengamat internasional. Beberapa pihak menilai klaim Hamas perlu diverifikasi secara independen, mengingat tekanan politik dan kepentingan propaganda kedua belah pihak. Kondisi ini menyoroti ketegangan berkelanjutan antara kepatuhan formal gencatan senjata dan realitas lapangan, di mana akses, keselamatan, dan logistik menjadi tantangan utama.
Dengan gencatan senjata yang masih rapuh, setiap penundaan atau ketidakjelasan dalam pemulangan jenazah berpotensi memicu ketegangan baru dan menyulitkan proses rekonsiliasi di wilayah yang sudah dilanda konflik berkepanjangan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan