SAMPIT — Angka stunting di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih tergolong tinggi dan menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Berbagai upaya terus dilakukan secara kolaboratif oleh satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) hingga perusahaan swasta untuk menurunkan prevalensi stunting.
Di bawah kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Kotim, Halikinnor-Irawati, program penanganan stunting dilaksanakan secara masif, mulai dari edukasi di posyandu, kegiatan penimbangan bayi, hingga gerakan “Grebek Stunting” di sejumlah wilayah. Tak hanya mengandalkan instansi pemerintah, pelibatan dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) turut digencarkan. “Berbagai kegiatan seperti Grebek Stunting, penimbangan bayi, hingga penyuluhan gizi oleh Posyandu masih terus berjalan sebagai bagian dari penanganan masalah stunting,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kotim, Umar Kaderi, dalam peluncuran program Desa Siaga Stunting di Hotel Aquarius Boutique Sampit, Kamis (12/6).
Ia menyebutkan, Pemkab Kotim telah menganggarkan dana melalui masing-masing SOPD terkait. Bahkan setiap puskesmas dianggarkan sebesar Rp200 juta untuk mendukung program ini. “Kalikan saja dengan 21 puskesmas di Kotim. Itu semua untuk penanganan stunting,” ungkap Umar.
Selain itu, perusahaan besar swasta (PBS) di wilayah Kotim juga memberikan dukungan pendanaan melalui CSR. “Penanganan ini dikeroyok anggarannya, tidak hanya oleh Dinas Kesehatan, tetapi juga dinas terkait lainnya serta didukung perusahaan,” imbuhnya.
Setelah menetapkan Desa Bagendang Tengah sebagai Desa Siaga Stunting, Dinkes berencana menetapkan 15 desa lainnya tahun ini. Total 16 desa yang menjadi fokus penanganan stunting di antaranya Kuluk Telawang, Rantau Suang, Tumbang Saluang, Tumbang Getas, Tumbang Tilap, Tinduk, Bawan, Babaung, Waringin Agung, Tumbang Mangkup, Hanaut, Tanjung Jorong, Tanjung Jariangau, Basawang, dan Pantai Harapan. “Target tahun ini ada 16 desa ditetapkan sebagai Desa Siaga Stunting, karena tingkat stuntingnya lebih tinggi dibandingkan desa lain,” ujarnya.
Menurut Umar, penetapan desa ini bertujuan untuk memfokuskan intervensi dan memacu semangat seluruh pihak agar kasus stunting menurun signifikan.
Data tahun 2024 mencatat, jumlah anak yang mengalami stunting di Kotim sebanyak 1.943 kasus yang tersebar di 17 kecamatan. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, prevalensi stunting di Kotim mencapai 35,5 persen.
Upaya penurunan dilakukan dengan dua pendekatan, yakni Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dan pencatatan data lapangan menggunakan aplikasi e-PPGBM (e-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat). “Aplikasi ini penting dalam pemantauan status gizi anak dan ibu hamil, serta membantu perencanaan program dan pengambilan keputusan terkait intervensi gizi,” jelas Umar.
Meskipun cakupan penimbangan sudah hampir mencapai 100 persen, hasil survei tetap menunjukkan angka stunting sebesar 35,5 persen. “Meski 99,98 persen balita sudah ditimbang dan diukur, hasil survei tetap menunjukkan prevalensi di angka 35,5 persen. Ini menandakan perlunya kerja keras lebih lanjut,” pungkasnya. []
Redaksi10