JAKARTA – Eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang kini melibatkan Amerika Serikat berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap perekonomian Indonesia. Pemboman tiga fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan oleh AS dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas harga minyak dunia, yang pada gilirannya dapat memicu tekanan inflasi dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Syafruddin Karimi, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, memperingatkan bahwa gangguan pada jalur perdagangan di Selat Hormuz dapat menyebabkan lonjakan harga minyak. “Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan ganda: potensi depresiasi rupiah yang dapat memicu kenaikan harga barang impor dan beban fiskal yang meningkat akibat subsidi energi yang membengkak,” ujar Karimi, Senin (23/6/2025).
Menurut skenario terburuk Oxford Economics yang dikutip Karimi, harga minyak bisa mencapai US$130 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz—naik signifikan dari posisi saat ini sekitar US$70 per barel. Kenaikan semacam itu berpotensi mendorong inflasi AS ke level 6% dan mengurangi peluang penurunan suku bunga The Fed pada tahun ini. Dampaknya, arus modal asing bisa keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang akan memperlemah nilai tukar rupiah dan meningkatkan beban subsidi energi pemerintah.
Data realisasi subsidi energi hingga 31 Mei 2025 memang menunjukkan penurunan 15,1% menjadi Rp66,1 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp77,8 triliun). Namun, penurunan ini lebih disebabkan oleh harga minyak mentah Indonesia yang lebih rendah dari asumsi APBN 2025, bukan karena pengurangan volume subsidi. Nyatanya, penyaluran BBM justru meningkat 4,3% menjadi 5,8 juta kiloliter per Mei 2025. Artinya, jika harga minyak global naik sementara konsumsi domestik tetap tinggi, tekanan terhadap APBN akan semakin besar.
“Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk bersikap netral dalam menyikapi dampak ekonomi dari krisis global ini. Waktu untuk bertindak adalah sekarang—demi stabilitas rupiah, daya beli rakyat, dan ketahanan fiskal yang berkelanjutan,” tegas Karimi. Ia mendesak Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk segera menyusun langkah antisipatif, termasuk menjaga stabilitas nilai tukar, memperkuat cadangan devisa, dan mengamankan pasokan energi domestik.
Kekhawatiran serupa disampaikan Dendi Ramdani, Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Ia mengingatkan tingginya sensitivitas fiskal Indonesia terhadap kenaikan harga minyak. Berdasarkan analisis Kementerian Keuangan, setiap kenaikan US$1 per barel minyak dapat menambah beban subsidi energi sebesar Rp6,9 triliun. “Jadi bisa dibayangkan kalau naik US$10 itu hampir Rp69 triliun, terus kemudian ke US$20 ya berarti hampir Rp140 triliun, dan itu tentu akan berdampak nanti ke defisit,” ujar Dendi dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (20/6/2025).
Dendi menambahkan, meskipun pemerintah biasanya memberikan kompensasi, perusahaan BUMN seperti Pertamina dan PLN tetap akan menanggung beban cash flow. “Cashflownya itu bebannya di BUMN, tapi secara umum itu tentu akan meningkatkan biaya domestik, dan itu berdampak pada biaya belanja subsidi pemerintah,” jelasnya.
Dengan berbagai risiko yang mengintai, para ahli menekankan pentingnya langkah cepat dan terkoordinasi antara otoritas moneter dan fiskal untuk memitigasi dampak krisis global ini sebelum berdampak lebih luas pada perekonomian nasional. []
Admin05