JAKARTA – Kejaksaan Agung Republik Indonesia secara resmi menetapkan Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas kredit perbankan dari bank milik daerah kepada perusahaan tekstil tersebut. Penetapan ini dilakukan pada Rabu, 21 Mei 2025, setelah proses penyelidikan yang melibatkan puluhan saksi dan pengumpulan alat bukti yang dinilai cukup.
Dalam perkara yang sama, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga menetapkan dua nama lain sebagai tersangka. Keduanya adalah Zainuddin Mappa, mantan Direktur Utama Bank DKI tahun 2020, dan Dicky Syahbandinata, mantan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB pada periode yang sama.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa sebelum penetapan tersangka, tim penyidik telah memeriksa sedikitnya 55 orang saksi, serta satu orang ahli. “Dalam pemeriksaan sebelumnya, penyidik sudah melakukan pemeriksaan terhadap 46 saksi, sebagaimana tadi yang telah disampaikan oleh Pak Kapuspenkum,” ujar Qohar. Ia menambahkan, pada hari penetapan tersangka, sembilan saksi lainnya diperiksa bersama satu ahli yang turut dimintai keterangan.
Kredit yang diberikan kepada Sritex berasal dari sejumlah bank milik pemerintah daerah, seperti Bank BJB dan Bank DKI, serta beberapa bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan Bank Negara (Himbara). Total tagihan yang belum dilunasi mencapai lebih dari Rp3,5 triliun, dengan nilai kerugian keuangan negara yang dihitung dari kredit bermasalah mencapai Rp692,98 miliar.
“Penyidik memperoleh alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari beberapa bank pemerintah kepada PT Sritex Rejeki Isman Tbk, dengan nilai total tagihan yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 Rp3.588.650.808.28,57,” ujar Qohar.
Dari total kerugian tersebut, Bank BJB diketahui memberikan kredit sebesar Rp543,98 miliar, sementara Bank DKI Jakarta memberikan kredit sebesar Rp149 miliar lebih. Penyidik menduga dana kredit dari dua bank ini disalahgunakan oleh Iwan Setiawan Lukminto, yang saat itu menjabat sebagai direktur utama.
Alih-alih digunakan sebagai modal kerja seperti yang disepakati dalam akad kredit, dana tersebut justru dipakai untuk membayar sejumlah utang kepada pihak ketiga serta membeli aset nonproduktif, termasuk beberapa bidang tanah yang tersebar di sejumlah daerah seperti Yogyakarta dan Solo. “Tetapi berdasarkan hasil penyidikan, dana tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, tapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset yang tidak produktif,” tegas Qohar.
Tak hanya itu, aparat hukum juga menyoroti peran dua petinggi bank daerah yang memberikan kredit tanpa melalui analisis risiko yang memadai. Dicky dan Zainuddin disebut telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam proses pemberian pinjaman kepada Sritex, padahal perusahaan tersebut memiliki peringkat kredit BB dari lembaga pemeringkat, yang berarti cukup tinggi risiko gagal bayarnya.
Menurut Qohar, “Seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A, yang seharusnya wajib dilakukan sebelum diberikan fasilitas kredit.” Tindakan kedua bank tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan SOP internal mereka sendiri.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya langsung ditahan di Rumah Tahanan Salemba, cabang Kejaksaan Agung, selama 20 hari ke depan. Iwan Setiawan sendiri diamankan dari kediamannya di Jalan Enggano No. 3, Banjarsari, Kota Solo, pada malam sebelumnya. Penahanan dilakukan untuk keperluan penyidikan lanjutan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara.
Kondisi rumah Iwan kini dijaga ketat oleh aparat. Komandan Linmas Kelurahan Setabelan, Paryanto, menyebutkan bahwa penjagaan tidak hanya dilakukan oleh petugas keamanan biasa. “Yang jaga bukan satpam biasa. Juga aparat semua, karena linmas yang kelurahan mau ngatur apa gitu agak kesusahan,” ujarnya. Ia juga menyebut keluarga Iwan dikenal tertutup dan sulit dijangkau, bahkan untuk urusan administratif seperti penyerahan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena besarnya kerugian negara yang timbul serta melibatkan nama besar perusahaan tekstil nasional. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. []
Redaksi11
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan