JAKARTA – Kasus korupsi yang menimpa PT Pertamina (Persero) dalam beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi momentum penting untuk perbaikan tata kelola di perusahaan energi milik negara ini. Namun, terungkap bahwa meskipun terjadi perubahan dalam manajemen, praktik korupsi yang terjadi masih menggunakan modus lama, hanya dengan pemain baru.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Pertamina telah tercatat terlibat dalam setidaknya enam kasus korupsi besar, yang masing-masing menyita perhatian publik. Salah satu yang paling mencuat adalah kasus pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) pada 2011-2014, yang melibatkan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina, Karen Agustiawan. Kasus ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 2,1 triliun, setelah ditemukan adanya pembelian gas secara sepihak tanpa prosedur yang benar. Mahkamah Agung (MA) bahkan memperberat hukuman Karen dari 9 tahun penjara menjadi 13 tahun.
Kasus lainnya adalah dugaan gratifikasi dalam pengadaan minyak mentah yang terungkap pada 2019, melibatkan Bambang Irianto, mantan Managing Director Pertamina Energy Services (PES). KPK mengungkapkan bahwa Bambang menerima suap senilai Rp 40,75 miliar akibat membantu pihak swasta dalam bisnis migas. Begitu pula dengan kasus pengelolaan dana pensiun Pertamina pada 2017 yang melibatkan Muhammad Helmi Kamal Lubis, yang bersama Edward Soeryadjaya, menyebabkan kerugian negara Rp 599 miliar.
Selanjutnya, pada 2018, kasus penyalahgunaan investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia juga menyeret nama mantan manajer Pertamina, BK, yang diduga merugikan negara ratusan miliar rupiah. Lalu, pada tahun 2025, KPK mengusut kasus korupsi terkait digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyelidiki kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kasus terbaru ini mengungkapkan modus yang sama dengan kasus-kasus sebelumnya, yakni pembelian produk dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, kemudian diproses ulang dengan cara yang tidak sah. Kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun pada 2023.
Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyebutkan bahwa kasus korupsi di Pertamina merupakan “modus lama dengan pemain baru.” Menurutnya, celah korupsi ini terletak pada tiga faktor utama: Pertamina sebagai pemain dominan di pasar energi, transaksi besar yang rentan diselewengkan, dan adanya pihak-pihak yang berperan dalam pengadaan barang dan jasa yang memungkinkan terjadinya praktik suap.
Sudirman juga menyoroti pentingnya sikap pemerintah dalam menyikapi kasus ini, mengingat kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar. Ia mengingatkan bahwa tidak mungkin korupsi sebesar itu dilakukan tanpa ada pihak lain yang terlibat, baik itu dari kementerian terkait atau pejabat pemerintah lainnya.
Dari rangkaian kasus ini, jelas bahwa PT Pertamina perlu melakukan perbaikan struktural yang lebih mendalam agar tidak terjebak pada pola yang sama. Penuntasan kasus korupsi ini menjadi ujian besar bagi manajemen Pertamina dan pemerintah dalam memastikan tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel ke depannya. []
Redaksi03