BULUNGAN – Pemerintah Kabupaten Bulungan menegaskan komitmennya dalam memperkuat ketahanan pangan melalui Program Komando Strategi Pembangunan Pertanian (Kostratani). Namun, sejumlah pertanyaan muncul terkait efektivitas dan biaya pelaksanaan program ini.
Bupati Bulungan, Syarwani, menyebut Kostratani sebagai prioritas utama dalam mendorong kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Tahun ini, program cetak sawah seluas 2.000 hektare digadang-gadang akan memperluas lahan produktif.
“Program ini menjadi momentum penting bagi kita untuk mendorong kemandirian pangan di daerah. Tahun 2024 lalu, kita juga telah melakukan optimalisasi lahan sekitar 1.600 hektare, dan tahun ini jumlahnya meningkat. Ini peluang besar yang harus kita kerjakan bersama,” jelasnya, Minggu (19/10/2025).
Meski angka cetak sawah meningkat, kritik muncul terkait besarnya biaya yang dikeluarkan. Setiap hektare menelan biaya sekitar Rp 35 juta dari anggaran Kementerian Pertanian, sehingga total mencapai Rp 70 miliar. Para pengamat pertanian mempertanyakan efisiensi dana tersebut, mengingat belum ada evaluasi jelas terkait produktivitas dan keberlanjutan lahan yang dicetak tahun sebelumnya.
“Kalau satu hektare nilainya Rp 35 juta, maka dengan 2.000 hektare berarti sekitar Rp 70 miliar. Artinya, beban pembiayaan di APBD bisa kita minimalisir. Dana daerah yang ada bisa kita alihkan untuk mendukung kebutuhan lain,” jelas Syarwani.
Selain itu, program jaminan hasil bagi petani senilai Rp 1 miliar melalui APBD menjadi sorotan. Kritik mengarah pada besaran anggaran yang relatif kecil dibanding total biaya cetak sawah, sehingga belum jelas seberapa efektif program ini dalam melindungi petani dari fluktuasi harga gabah dan beras.
“Melalui program ini, kami ingin memastikan setiap hasil panen memiliki pasar yang pasti,” tegas Syarwani. Namun, para pakar menilai jaminan senilai Rp 1 miliar masih sangat terbatas untuk mencakup ribuan petani di Bulungan.
Program Kostratani disebut-sebut akan membuka lapangan kerja baru dan menggerakkan ekonomi pedesaan. Tapi skeptisisme tetap ada, terutama mengenai dampak jangka panjang, pengawasan penggunaan dana, serta apakah lahan cetak sawah benar-benar akan menghasilkan panen optimal dan berkelanjutan.
“Dengan langkah terencana dan kolaboratif, akan menjadi salah satu daerah penopang utama ketahanan pangan nasional,” pungkas Syarwani. Namun bagi kritikus, tanpa evaluasi transparan dan pengukuran kinerja yang jelas, program ini berisiko menjadi sekadar proyek anggaran besar tanpa dampak signifikan bagi petani. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan