JAKARTA – Kasus kredit fiktif yang menjerat jajaran direksi PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha (Perseroda) kian menguak praktik penyalahgunaan kewenangan di sektor perbankan daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap, Direktur Utama BPR Jepara Artha, Jhendik Handoko, bersama tiga pejabat internal bank menggunakan sebagian hasil korupsi untuk membiayai perjalanan umrah.
Selain Jhendik, pejabat yang ikut terseret adalah Iwan Nursusetyo (Direktur Bisnis dan Operasional), Ahmad Nasir (Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan), serta Ariyanto Sulistiyono (Kepala Bagian Kredit). Dari praktik kredit fiktif, Jhendik disebut menerima Rp 2,6 miliar, Iwan Rp 793 juta, Nasir Rp 637 juta, dan Ariyanto Rp 282 juta. “Uang umrah untuk JH, IN, dan AN sebesar Rp 300 juta,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (18/09/2025).
KPK menjelaskan, dana tersebut tidak mengalir begitu saja. Ada peran Mohammad Ibrahim Al’Asyari, Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang (BMG), yang disebut menjadi penyedia fasilitas sekaligus penyalur biaya umrah untuk para pejabat bank. Ia juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Lebih jauh, Asep memaparkan bahwa total kerugian negara akibat kredit fiktif di BPR Jepara Artha mencapai sekurang-kurangnya Rp 254 miliar. Kerugian ini dihitung dari baki debet dan tunggakan bunga kredit yang tidak pernah terealisasi karena nasabahnya palsu. “Proses perhitungan kerugian keuangan negara sedang dilakukan oleh BPK-RI, diketahui nilai kerugian negara yang terjadi dalam perkara ini sekurang-kurangnya Rp 254 miliar,” ucapnya.
Modus operandi yang digunakan para pejabat bank dinilai sistematis. Kredit fiktif dibuat dengan memanfaatkan nama-nama yang seolah-olah menjadi debitur. KPK sebelumnya juga menyebut ada pengemudi ojek daring hingga pengangguran yang datanya dicatut untuk kepentingan pencairan kredit senilai ratusan miliar.
Setelah mengumpulkan keterangan saksi, melakukan penggeledahan di rumah dan kantor para pihak, serta menyita sejumlah barang dan aset, penyidik KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK selama 20 hari pertama, terhitung sejak 18 September hingga 7 Oktober 2025. “Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2025 sampai dengan 7 Oktober 2025. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” jelas Asep.
Para tersangka disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman mereka berupa pidana penjara maksimal seumur hidup.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi tata kelola lembaga keuangan daerah. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan lokal yang seharusnya menjadi motor penggerak inklusi keuangan justru tercoreng akibat praktik korupsi. Ironisnya, sebagian hasil kejahatan bahkan digunakan untuk kegiatan yang berkedok ibadah.
KPK menegaskan akan menelusuri lebih jauh jejak aliran dana, termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang ikut menikmati hasil korupsi. Publik kini menunggu perkembangan proses hukum ini sebagai bagian dari upaya membongkar jaringan penyalahgunaan kredit yang merugikan negara ratusan miliar rupiah. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan