Krisis Ekonomi Mencekik Kenya, Warga Kian Terpuruk

NAIROBI – Kenya, salah satu negara di kawasan Afrika Timur, tengah menghadapi krisis ekonomi yang mencengkeram kehidupan jutaan warganya. Inflasi tinggi, kenaikan pajak, tingginya angka pengangguran, dan maraknya korupsi membuat kondisi negara tersebut kian memburuk. Sekitar 40 persen penduduk Kenya kini hidup di bawah garis kemiskinan, dan penderitaan mereka semakin nyata terasa di jantung ibu kota Nairobi.

“Ekonomi sangat buruk. Tak ada uang di Kenya,” kata Christine Naswa, seorang ibu dengan lima anak yang sehari-hari menjual sayur di pinggir jalan. Ia mengungkapkan sering pulang tanpa membawa penghasilan apa pun. “Ada hari-hari ketika saya pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Anak-anak saya menangis karena lapar, tapi saya hanya bisa diam,” ujarnya dengan nada lirih.

Pemerintahan Presiden William Ruto sebelumnya telah mencabut sejumlah pajak melalui rancangan undang-undang keuangan. Namun, menurut warga, langkah tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap keseharian mereka. “Tahun ini adalah tahun terburuk dalam 36 tahun saya berdagang,” ungkap seorang pemilik toko di pusat bisnis Nairobi. Ia menolak disebutkan namanya karena tokonya pernah dijarah dalam aksi unjuk rasa. “Begitu pemerintahan baru terpilih, pajak langsung dinaikkan. Tapi kami tidak pernah merasakan manfaat apa pun dari itu,” tambahnya.

Di tengah tekanan ekonomi, pemerintah beralasan bahwa kebijakan fiskal tersebut diperlukan untuk membayar utang luar negeri dan menjaga stabilitas anggaran negara. Namun, pendekatan ini justru menambah beban masyarakat. Menurut Kwame Owino dari Institute for Economic Affairs, masyarakat sudah berada di ambang batas kesabaran. “Kita sudah mencapai titik di mana rakyat tidak sanggup lagi menanggung beban pajak,” katanya. Ia menilai publik sudah lelah dengan janji-janji yang tidak diwujudkan. “Masyarakat lelah membayar pajak hanya untuk menutupi borosnya belanja pemerintah dan utang yang tidak transparan penggunaannya.”

Patricia Rodrigues, analis dari Control Risks, menyebut Presiden Ruto menghadapi krisis kepercayaan karena dianggap gagal menepati janji kampanye untuk memperjuangkan kepentingan rakyat biasa. “Ia berjanji akan memperjuangkan warga biasa, tapi malah menaikkan pajak secara drastis. Ini dirasakan banyak orang sebagai bentuk pengkhianatan,” ujarnya.

Ironisnya, anggaran negara kini lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang dibanding untuk layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Kenya juga berada dalam tekanan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), yang mendesak reformasi fiskal sebagai syarat bantuan.

Menjelang pembahasan rancangan anggaran baru oleh parlemen pada Kamis mendatang, pemerintah berupaya menghindari kebijakan perpajakan yang berisiko memicu gelombang protes berikutnya. Di sisi lain, warga berharap pemerintah mulai menegakkan akuntabilitas. “Kita perlu bicara soal akuntabilitas, bukan hanya pajak,” ujar seorang warga Nairobi. “Jika korupsi tidak diberantas, tidak peduli siapa yang memimpin – rakyat tetap akan sengsara.”

Sebagian warga mulai kehilangan kepercayaan terhadap proses politik. Ketika ditanya soal harapan di pemilu 2027, seorang pemilik toko menyampaikan pesimismenya. “Warga Kenya akan selalu memilih pencuri,” katanya dengan senyum getir. []

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com