Krisis Politik Thailand: Anutin Dapat Dukungan Mayoritas DPR

BANGKOK – Thailand kembali berada di persimpangan politik penting setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dijadwalkan memilih perdana menteri baru pada Jumat (05/09/2025). Pemilihan ini dinilai menjadi kunci dalam menentukan arah penyelesaian krisis politik yang melanda Negeri Gajah Putih sejak beberapa tahun terakhir.

Salah satu nama yang mencuat adalah Anutin Charnvirakul, pemimpin Partai Bhumjaithai. Tokoh berusia 58 tahun itu dijuluki “raja ganja” oleh Financial Times karena keberhasilannya melobi legalisasi ganja medis di Thailand. Anutin menjadi kandidat paling kuat setelah berhari-hari negosiasi politik yang berlangsung intens di parlemen.

Anutin dikenal sebagai figur konservatif yang sekaligus pragmatis. Ia sebelumnya pernah menjabat menteri kesehatan selama pandemi Covid-19, meski sempat menuai kritik karena dianggap terlambat mengamankan pasokan vaksin. Di sisi lain, reputasinya menguat berkat keberanian memperjuangkan kebijakan ganja medis, yang kini sedang dalam proses pengetatan regulasi.

Dalam kontestasi kali ini, Anutin mengklaim telah mengamankan 146 suara dari partainya sendiri dan sekutunya. Dukungan tambahan datang dari Partai Rakyat dengan 143 suara, sehingga totalnya melebihi mayoritas 247 suara dari 492 anggota DPR yang sedang menjabat. Jika benar terpilih, Anutin berjanji akan membubarkan parlemen dalam empat bulan sebagai bentuk komitmen politik bersama sekutunya.

Partai Rakyat, yang sebelumnya dikenal dengan nama Move Forward, memberi syarat tambahan. Mereka menuntut agar pemerintahan Anutin menyelenggarakan referendum untuk merancang konstitusi baru melalui majelis konstituante terpilih. Menurut Partai Rakyat, perubahan konstitusi diperlukan untuk mengganti undang-undang yang lahir di era pemerintahan militer agar lebih demokratis.

Situasi politik di Thailand memang berliku. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memberhentikan Paetongtarn Shinawatra, putri mantan PM Thaksin Shinawatra, karena dinilai melanggar etika usai berkomunikasi dengan Presiden Senat Kamboja, Hun Sen. Perselisihan diplomatik terkait sengketa perbatasan bahkan sempat memicu bentrokan bersenjata lima hari pada Juli lalu.

Pergeseran kekuasaan juga tercermin dari runtuhnya pemerintahan sebelumnya. Srettha Thavisin, mantan eksekutif real estate dari Partai Pheu Thai, hanya bertahan setahun sebelum diberhentikan Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran etika. Setelah itu, giliran Paetongtarn menggantikan posisi, namun koalisi yang rapuh membuat pemerintahannya berumur pendek.

Kini, perhatian publik tertuju pada langkah Anutin. Bhumjaithai pernah menjadi mitra koalisi Pheu Thai, namun meninggalkan aliansi itu setelah terjadi kontroversi terkait komunikasi lintas negara. Keputusan tersebut membuat pemerintahan Pheu Thai kehilangan mayoritas stabil di parlemen.

Apabila Anutin berhasil menduduki kursi perdana menteri, ia akan memimpin pemerintahan transisi yang cenderung minoritas. Partai Rakyat sendiri menegaskan tetap berada di luar pemerintahan meskipun memberikan dukungan suara. Situasi ini membuka peluang bahwa kabinet Anutin akan menghadapi tantangan serius dalam menjaga stabilitas politik.

Meski demikian, keberhasilan Anutin menduduki kursi PM bisa menjadi titik balik penting. Pemilu baru yang dijanjikan diharapkan dapat menciptakan peta politik lebih jelas sekaligus meredakan ketegangan yang telah menahun.

Krisis politik Thailand sejak 2023 memperlihatkan bagaimana tarik ulur kekuasaan, campur tangan konstitusi, hingga perseteruan antara kelompok konservatif-royalis dan progresif-demokratis. Pertarungan ini bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi perdana menteri, melainkan masa depan demokrasi Thailand yang terus diuji. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com