Krisis Politik Thailand, Keluarga Shinawatra Disorot

BANGKOK – Situasi politik di Thailand kian memanas seiring munculnya berbagai persoalan hukum yang dihadapi oleh keluarga Shinawatra. Pada Selasa (1/7/2025), Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra terancam diberhentikan sementara dari jabatannya, sementara ayahnya, mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, hadir di pengadilan untuk menjalani proses hukum terkait tuduhan pencemaran nama baik terhadap kerajaan.

Kontroversi bermula dari tersebarnya rekaman percakapan antara Paetongtarn dan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen. Dalam rekaman tersebut, ia menyebut komandan militer Thailand di wilayah timur laut sebagai lawan dan menyapa Hun Sen dengan sebutan “paman”. Ucapan ini dianggap merendahkan institusi militer Thailand dan membuka ruang persoalan diplomatik antara kedua negara.

Dampak dari rekaman tersebut memicu gelombang protes dari masyarakat yang mendesak Paetongtarn untuk mengundurkan diri. “Saya sangat kecewa saat mendengar rekaman audio itu,” ujar Kanya Hanotee (68), seorang pekerja kuil, dikutip dari AFP.

Mahkamah Konstitusi Thailand telah menerima laporan dari kelompok senator konservatif yang menuduh Paetongtarn melanggar etika dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pemerintahan. Jika pengadilan memutuskan untuk melanjutkan proses tersebut, maka Paetongtarn berpotensi diskors dari jabatannya. Situasi ini berisiko memicu ketidakstabilan politik di tengah tekanan ekonomi domestik dan kebijakan perdagangan dari luar negeri.

“Saya akan membiarkan proses ini berjalan sebagaimana mestinya,” kata Paetongtarn. “Jika Anda bertanya apakah saya khawatir, saya khawatir.”

Apabila Mahkamah Konstitusi mengambil langkah untuk menskors Paetongtarn, maka kekuasaan eksekutif akan dialihkan sementara kepada wakilnya, Phumtham Wechayachai. Padahal, Paetongtarn baru menjabat kurang dari satu tahun dan kini sudah harus menghadapi krisis legitimasi akibat polemik dengan negara tetangga.

Sementara itu, Thaksin Shinawatra yang kini berusia 75 tahun, menghadapi perkara hukum terkait pelanggaran terhadap undang-undang lese majeste yang bertujuan melindungi Raja Thailand dari penghinaan atau kritik. Kasus tersebut merujuk pada wawancara yang dilakukan Thaksin dengan media Korea Selatan pada tahun 2015.

Dalam wawancara itu, ia sempat menyatakan bahwa anggota dewan rahasia mendukung kudeta terhadap adiknya, Yingluck Shinawatra, pada tahun 2014. Atas pernyataan tersebut, kepolisian menilai Thaksin telah melanggar pasal 112 KUHP. Jika terbukti bersalah, ia dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun.

Seorang pejabat pengadilan menyebutkan bahwa sidang telah dimulai, meski akses bagi media dibatasi. “Saya tidak dapat berbicara atas namanya tentang perasaannya, tetapi saya pikir ia tampak tenang,” kata pengacaranya, Winyat Chatmontri, kepada AFP di luar ruang sidang. []

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com