WASHINGTON DC — Pernyataan Jared Kushner pada Minggu, 19 Oktober 2025, tentang pentingnya Israel membantu Palestina “berkembang” setelah perang Gaza berakhir kembali memunculkan ironi lama dalam politik luar negeri Amerika Serikat (AS). Di satu sisi, Kushner berbicara tentang perdamaian dan kemajuan ekonomi, tetapi di sisi lain, Washington tetap mendukung penuh operasi militer Israel yang terus menghancurkan Gaza dan menewaskan ribuan warga sipil.
Kushner, menantu mantan Presiden Donald Trump, yang juga dikenal sebagai arsitek perjanjian normalisasi Israel dengan sejumlah negara Arab selama masa jabatan pertama Trump (2017–2021), kembali muncul di panggung diplomasi dengan pesan lama yang dibungkus baru: janji perdamaian yang berakar pada syarat politik sepihak. “Pesan terbesar yang kami coba sampaikan kepada para pemimpin Israel sekarang adalah bahwa setelah perang berakhir, jika Anda ingin mengintegrasikan Israel dengan Timur Tengah yang lebih luas, Anda harus mencari cara untuk membantu rakyat Palestina berkembang dan menjadi lebih baik,” ujarnya kepada CBS News pada Minggu, 19 Oktober 2025, sebagaimana dikutip AFP pada Senin, (20/10/2025).
Namun pernyataan itu terdengar paradoksal. Bagaimana Israel bisa diminta “membantu Palestina berkembang” sementara wilayah Gaza masih luluh lantak oleh serangan udara yang terus terjadi hingga Minggu malam, 19 Oktober 2025, menyusul tuduhan Tel Aviv bahwa Hamas telah melanggar gencatan senjata yang dimulai sejak 10 Oktober 2025? Pernyataan Kushner terasa seperti diplomasi basa-basi retorika damai di atas puing-puing penderitaan rakyat Palestina.
Dalam wawancara yang sama, Kushner mengakui “situasinya masih sangat sulit,” tetapi ia mengklaim terus mengupayakan “keamanan bersama dan peluang ekonomi” agar Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan secara damai dan berkelanjutan. Namun, janji semacam itu terdengar hampa ketika fakta di lapangan menunjukkan penderitaan warga Gaza yang terus meningkat dari hari ke hari.
Pada Senin, (20/10/2025), Kushner kembali ke Israel bersama Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, dalam kunjungan yang diperkirakan akan diwarnai pertemuan dengan pejabat pemerintah Tel Aviv. Namun, langkah ini lebih terlihat sebagai bagian dari upaya politik Trump untuk kembali menegaskan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah menjelang agenda politik 2026 di AS, bukan sebagai diplomasi kemanusiaan yang nyata.
Kushner juga menuding bahwa, “Hamas saat ini sedang melakukan persis seperti yang diperkirakan dari sebuah organisasi teroris, yaitu mencoba membangun kembali (kelompoknya) dan merebut kembali posisi mereka.” Ia menambahkan, jika ada “alternatif yang layak” bagi Gaza, maka “Hamas akan gagal, dan Gaza tidak akan menjadi ancaman bagi Israel di masa depan.” Pandangan ini memperlihatkan bagaimana Washington kembali menggunakan narasi “perang melawan teror” untuk mengesampingkan realitas pendudukan dan blokade yang telah berlangsung selama lebih dari 17 tahun sejak 2007.
Ketika ditanya mengenai prospek negara Palestina yang hingga kini diakui oleh sebagian besar negara dunia, namun tidak oleh AS dan Israel Kushner menjawab, “masih terlalu dini untuk mengatakannya.” Jawaban ini mempertegas sikap ambigu Washington yang terus menunda pengakuan kedaulatan Palestina, bahkan setelah puluhan tahun konflik berkepanjangan.
Pada akhirnya, seruan Kushner agar Israel “membantu Palestina berkembang” setelah perang Gaza berakhir hanyalah bentuk diplomasi retoris yang kosong. AS berbicara soal kemanusiaan pada 19–20 Oktober 2025, namun di waktu yang sama tetap mengirim bantuan militer dan senjata ke Israel. Mereka menyerukan perdamaian, tetapi tetap membiarkan Gaza terbakar. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan