NUNUKAN — Desakan agar negara tak abai terhadap konflik agraria di wilayah perbatasan kembali menguat. Anggota DPRD Nunukan, Donal, menilai pemerintah pusat terlalu lamban dan cenderung pasif dalam menyelesaikan sengketa lahan antara masyarakat adat dan korporasi pemegang izin konsesi.
Donal yang baru saja mendampingi perwakilan masyarakat adat dalam audiensi dengan Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, menegaskan bahwa negara seharusnya berdiri di sisi rakyat, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan modal.
“Negara tidak boleh terlihat lemah dalam menghadapi persoalan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Negara harus menunjukkan keberpihakan kepada keadilan. Persoalan agraria di Nunukan tidak bisa terus dibiarkan berlarut. Rakyat butuh kepastian hukum atas ruang hidup mereka,” kata Donal kepada wartawan Sabtu (25/10/2025).
Menurut Donal, akar masalah agraria di Nunukan bukan hanya pada tumpang tindih izin, tetapi juga lemahnya kehadiran negara dalam melindungi hak masyarakat adat yang telah turun-temurun bermukim di wilayah tersebut.
“Banyak masyarakat yang tiba-tiba dianggap tinggal di dalam kawasan konsesi perusahaan. Mereka akhirnya kehilangan akses untuk mengurus legalitas tanah, sulit memperoleh pembangunan, dan hidup dalam tekanan,” ujarnya.
Salah satu kasus yang ia soroti adalah konflik berkepanjangan antara warga dan PT Adindo Hutani Lestari (AHL). Meski berbagai upaya mediasi telah dilakukan, hingga kini tak satu pun menghasilkan keputusan konkret.
“Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal keadilan yang harus ditegakkan. Jangan sampai negara terkesan memberi ruang terlalu besar kepada perusahaan, sementara aspirasi masyarakat justru diabaikan,” ucapnya.
Donal mendesak KLHK agar segera turun langsung ke lokasi untuk memastikan penyelesaian yang objektif dan berkeadilan. Ia juga mendorong pembentukan tim investigasi bersama yang melibatkan unsur pemerintah pusat, DPR, pemerintah daerah, serta perwakilan masyarakat adat.
“KLHK tidak cukup hanya menerima laporan di meja. Mereka harus melihat langsung kondisi masyarakat di lapangan yang hidup dalam ketidakpastian di tanahnya sendiri,” tegasnya.
DPRD Nunukan, lanjut Donal, tengah menyiapkan rekomendasi resmi kepada KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Komisi IV DPR RI untuk mengevaluasi izin perusahaan yang masih memicu konflik.
“Negara harus hadir. Tidak boleh ada lagi masyarakat yang kehilangan haknya hanya karena lemah secara administrasi. Hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada modal,” tuturnya.
Dalam forum audiensi di Jakarta, perwakilan masyarakat adat menyampaikan pesan tegas: mereka bukan anti-investasi, tetapi menuntut penghormatan terhadap hak hidup di tanah leluhur mereka.
“Kami bukan menolak investasi. Kami hanya ingin hidup layak dan dihormati sebagai pemilik sah tanah adat kami,” ujar Donal menirukan aspirasi warga.
Ia menegaskan, konflik agraria di wilayah perbatasan bukan semata soal kepemilikan lahan, melainkan menyangkut martabat bangsa dan kedaulatan negara.
“Konflik agraria di perbatasan bukan sekadar masalah lokal, tetapi soal kedaulatan dan martabat rakyat Indonesia di wilayah terdepan. Pemerintah harus memastikan rakyatnya terlindungi secara adil dan bermartabat,” tegasnya.
Donal juga mengungkapkan keprihatinan atas penderitaan nyata masyarakat yang menjadi korban kebijakan yang timpang.
“Ada ibu-ibu yang menangis karena kebunnya digusur, ada petani yang ditahan karena membela tanahnya, dan ada anak-anak yang tumbuh besar tanpa tahu apakah rumah yang mereka tinggali hari ini akan digusur besok,” imbuhnya.
Menurut Donal, perjuangan masyarakat adat di perbatasan merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan struktural.
“Jangan biarkan air mata rakyat jatuh sia-sia di tanah yang seharusnya milik mereka. Masyarakat adat di perbatasan bukan beban pembangunan, mereka adalah benteng terakhir negara,” tandasnya. []
Fajar Hidayat
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan