Lampu Klub, Nyawa Melayang

SAMARINDA – Kasus penembakan di depan tempat hiburan malam Crown, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Samarinda, yang terjadi Minggu dini hari, 4 Mei 2025, kini disidangkan di Pengadilan Negeri Samarinda. Namun, di balik sidang yang berlangsung Rabu (15/10/2025), publik Samarinda menyoroti akar masalah yang lebih serius: lemahnya kontrol atas peredaran senjata api dan longgarnya pengawasan terhadap tempat hiburan malam yang kerap menjadi episentrum kekerasan.

Peristiwa berdarah itu terjadi ketika korban berinisial DIP (34) baru keluar dari tempat hiburan bersama beberapa rekannya. Tak sampai sepuluh meter berjalan, suara letusan senjata api memecah dini hari. Beberapa peluru menembus udara dan menghantam arah korban, menimbulkan kepanikan di tengah keramaian yang semestinya dijaga aparat.

Insiden ini sempat viral di media sosial dan membuka wajah gelap Samarinda sebagai kota industri yang tumbuh cepat namun rapuh dalam pengawasan sosial. Sepuluh pelaku berhasil diamankan polisi, tetapi publik bertanya-tanya: bagaimana senjata api bisa berada di tangan sipil begitu mudah, dan mengapa tempat hiburan malam masih menjadi zona abu-abu yang sering lolos dari pengawasan ketat?

Sidang perdana kasus ini pada Rabu (15/10/2025) pagi dipimpin oleh Hakim Ketua Agung Prasetyo, S.H., M.H., didampingi hakim anggota Elin Pujiastuti, S.H., M.H., dan Lili Evelin, S.H., M.H. Jaksa Penuntut Umum Mandra Bayu, S.H., dan Bintang Samudera, S.H., membacakan surat dakwaan bernomor PDM 647, 648, 649, dan 650/sapar/08/2025 terhadap para terdakwa. “Surat dakwaan telah dibacakan secara resmi,” ujar JPU dalam sidang tersebut.

Hakim kemudian menutup sidang dan menetapkan agenda lanjutan untuk pembacaan eksepsi. “Sidang selanjutnya diagendakan pembacaan eksepsi,” jelas Agung Prasetyo.

Namun, bagi banyak warga Samarinda, sidang ini hanyalah puncak dari gunung es. Penembakan di depan Crown dianggap sebagai simbol dari tatanan sosial yang longgar, tempat hukum berjalan setelah tragedi, bukan sebelum peluru dilepaskan. Pemerintah daerah dan aparat keamanan dinilai hanya reaktif bertindak ketika nyawa sudah melayang, bukan ketika tanda-tanda bahaya mulai tampak.

Fenomena kekerasan di ruang publik, terutama di area hiburan malam, memperlihatkan kegagalan sistemik dalam mengatur ruang hiburan yang seharusnya aman. Di balik dentuman musik dan kerlip lampu malam, tersembunyi transaksi ilegal, konflik kepentingan, dan gengsi sosial yang kerap berakhir dengan kekerasan.

Publik Samarinda kini menunggu bukan hanya vonis bagi para pelaku, tetapi juga tanggung jawab moral dan politik dari aparat serta pemerintah daerah. Sebab, tanpa pengawasan yang tegas dan evaluasi izin operasional tempat hiburan, kota ini berisiko terus hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. []

Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com