KUTAI TIMUR – Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim), diguncang kabar memilukan menyusul terungkapnya kasus kematian MA (8), bocah laki-laki yang menjadi korban kekerasan ayah kandungnya, SW (33), serta ibu tirinya, EP (32). Hasil autopsi yang diumumkan Polres Kutim, Kamis (11/9/2025), memperlihatkan betapa berat penderitaan yang dialami korban hingga menghembuskan napas terakhir.
Dokter forensik RSUD Kudungga Sangatta memastikan bahwa MA meninggal dunia bukan karena sakit, melainkan akibat serangkaian kekerasan fisik. Luka lebam di sekujur tubuh, patah tulang, serta pendarahan di otak menjadi bukti nyata kekerasan yang dialaminya sejak lama.
Kasat Reskrim Polres Kutim, AKP Ardian Rahayu, menjelaskan hasil pemeriksaan mendetail. “Kematian korban juga disebabkan oleh pendarahan di otak sehingga henti napas, dengan keterangan dokter terdapat pergeseran turun pada kerangka kepala,” ujarnya.
Polisi mengungkap bahwa kekerasan terhadap MA sudah berlangsung lebih dari sebulan. Tetangga sekitar barakan tempat tinggal keluarga ini di Jalan APT Pranoto, Sangatta Utara, mengaku sering mendengar teriakan dan tangisan korban. Barakan itu, yang biasanya menjadi hunian sederhana bagi pekerja, kini menyimpan cerita tragis.
Meski peran EP lebih dominan dalam penganiayaan, ayah kandung korban, SW, juga tidak lepas dari keterlibatan. “Bahkan SW juga terlibat dalam kekerasan terhadap ananda MA, hanya saja tidak seintens EP,” kata AKP Ardian. Sikap acuh tak acuh SW saat melihat anak kandungnya dipukul semakin menambah luka moral dalam kasus ini.
Yang lebih memilukan, hasil autopsi juga menunjukkan kondisi perut korban kosong. Tidak ada jejak makanan dalam lambung MA selama 24 jam terakhir sebelum meninggal. Hal ini memperkuat dugaan bahwa korban sering tidak diberi makan.
“Dari autopsi didapati bahwa korban gizi buruk karena jarang diberi makan,” ungkap Ardian. Kondisi ini menjelaskan tubuh korban yang kurus dan lemah, tanpa adanya pertolongan medis hingga akhirnya meninggal dunia.
Kasus ini mencuat berkat keberanian kakek korban yang melaporkan kejanggalan kepada polisi. Ia curiga melihat cucunya penuh luka lebam. Dari laporan itulah, polisi bergerak cepat melakukan penyelidikan.
Kapolres Kutim, AKBP Fauzan Arianto, menegaskan bahwa perbuatan EP dan SW tidak bisa ditoleransi. Kedua pelaku dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. “Namun apabila ada bukti baru, kasus ini akan terus dikembangkan,” tegas Fauzan.
Setelah MA meninggal pada 3 September 2025 dini hari, pasangan SW dan EP sempat kabur ke Kecamatan Muara Ancalong, berjarak sekitar 206 km dari Sangatta. Upaya pelarian itu tidak bertahan lama. Berkat kerja sama Polres Kutim dan Polsek Muara Ancalong, keduanya berhasil diamankan. Jenazah MA juga sempat diperiksa di RSUD Muara Bengkal sebelum dibawa kembali ke Sangatta untuk autopsi lengkap.
Fakta yang terungkap dari penyidikan menambah pilu. EP mengaku kerap melampiaskan amarahnya dengan mencubit, mencakar, hingga memukul korban menggunakan gantungan baju besi. Puncaknya, kepala bocah malang itu dibenturkan ke mesin cuci sebanyak dua kali.
SW sempat menegur EP, tetapi akhirnya memilih diam karena takut dimarahi. Ia pun beberapa kali ikut memukul anak kandungnya. Alasan EP pun sungguh ironis: tindak kekerasan itu disebut sebagai “cara mendidik” korban.
Kasus tragis MA menjadi alarm keras tentang pentingnya perlindungan anak di lingkungan keluarga sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru berubah menjadi ruang penuh ancaman.
Polisi menegaskan, tidak ada pembenaran bagi kekerasan terhadap anak. Kasus ini juga menjadi sorotan masyarakat Kutim yang berharap agar hukuman setimpal diberikan kepada kedua pelaku, sekaligus menjadi pelajaran agar tragedi serupa tidak terulang. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan