Ledakan dan Isak Tangis Warnai Ketegangan di Perbatasan Thailand

BANGKOK – Ketegangan di wilayah perbatasan Thailand dan Kamboja kembali pecah, memaksa ribuan warga sipil mengungsi. Suasana mencekam terasa hingga ke Provinsi Sisaket di timur laut Thailand, tempat serangan roket merenggut nyawa istri dan dua anak Komsan Prachan pada Kamis pagi, saat mereka tengah membeli makanan ringan di sebuah pom bensin.

Komsan dan istrinya, Rungrat, kala itu menjemput kedua anak mereka, Pongsapak yang berusia delapan tahun dan Taksatorn yang berusia 14 tahun, setelah sekolah diliburkan karena pertempuran di perbatasan. Namun, momen itu berubah menjadi tragedi ketika sebuah roket menghantam lokasi mereka berhenti. Rungrat, Taksatorn, dan Pongsapak termasuk dalam delapan korban tewas akibat ledakan tersebut.

“Istri saya seperti separuh hidup saya,” kata Komsan mengenang sang istri yang ia cintai sejak masa sekolah. Ia mengisahkan bagaimana Rungrat selalu menunjukkan perhatian kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya, menanyakan kabar, memastikan mereka cukup tidur, dan sudah makan.

Menurut laporan otoritas Thailand, sebanyak 20 orang tewas di seluruh negeri, terdiri dari 13 warga sipil dan tujuh tentara. Di sisi Kamboja, tercatat 13 korban jiwa, termasuk lima tentara dan delapan warga sipil. Kedua negara telah mengevakuasi lebih dari 200.000 penduduk dari wilayah perbatasan untuk menghindari korban lebih lanjut.

Di distrik Non Khun, tempat pengungsian dibuka di sebuah kuil, pejabat pemerintah mengunjungi warga terdampak dan menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban. Kompensasi dijanjikan, meskipun disadari bahwa nilai materi tak sebanding dengan kerugian emosional yang dialami.

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru. Bentrokan serupa pernah terjadi pada 2008 dan 2011, tetapi warga menyatakan bahwa kekerasan kali ini lebih parah. “Kali ini terus berlanjut,” ujar Prasit Saopa, seorang petani setempat yang harus meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Ketika ia kembali untuk mengambil barang darurat, ia menggambarkan suasana desa seperti kota mati, hanya terdengar ledakan artileri dari kejauhan.

Meski rumahnya tidak rusak, sekitar 20 pohon karet di lahan dekatnya hancur dan satu rumah di desa tetangga terkena dampak. Prasit menyalahkan konflik ini kepada elite politik, khususnya mantan pemimpin Kamboja Hun Sen dan putranya, Hun Manet. “Rakyat Kamboja – kami hanya berteman, mereka orang-orang biasa dan baik. Masalahnya adalah Hun Sen,” ujarnya.

Di tengah kekacauan ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa Thailand dan Kamboja telah setuju untuk segera bertemu guna membahas gencatan senjata. AS pun menegaskan tidak akan melanjutkan negosiasi perdagangan dengan kedua negara selama konflik bersenjata terus berlangsung. Bentrokan kembali terjadi keesokan harinya, sementara kedua belah pihak masih saling menyalahkan.

Perseteruan antara Hun Sen dan mantan perdana menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, turut memperkeruh suasana. Ketegangan meningkat setelah rekaman percakapan antara Hun Sen dan Paetongtarn, putri Thaksin yang kini menjabat sebagai perdana menteri Thailand, dibocorkan ke publik. Hal ini memicu kecaman di dalam negeri dan memunculkan tuduhan bahwa Thaksin terlalu lunak terhadap Kamboja.

Sementara itu, warga seperti Duan Ounjit masih terjebak dalam ketidakpastian. Ia dan keluarganya yang terdiri dari 15 orang telah dievakuasi. “Saya ingin kembali seperti dulu,” ujarnya. Dengan nada pesimistis, ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa sawah keluarganya akan rusak karena gagal dipupuk.

Bagi Komsan, luka kehilangan tetap membekas. Meski berhasil menyelamatkan salah satu anaknya, nyawa lainnya tak tertolong. Petugas menemukan jenazah perempuan yang memeluk anak kecil—diduga Rungrat dan Pongsapak. “Tak ada yang bisa menggantikan hidup mereka,” kata Komsan, mengenang putra-putrinya yang dikenal sebagai anak patuh dan ceria.[]

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com