SAMBAS – Keinginan untuk dikenal di dunia maya kembali membawa petaka. Tiga perempuan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, bersama seorang rekannya, harus berurusan dengan polisi setelah video mereka membaca ta’awudz dengan nada candaan beredar luas dan menuai kecaman publik pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Video berdurasi pendek yang memperlihatkan empat emak-emak itu, masing-masing berinisial M (25), E (46), DZ (35), dan Z (31), awalnya diunggah ke media sosial. Tak butuh waktu lama, potongan video tersebut menyebar ke berbagai grup WhatsApp dan akun publik hingga memicu kemarahan warganet.
Banyak pengguna internet menilai tindakan tersebut menyinggung perasaan umat Islam karena dianggap melecehkan bacaan keagamaan. Di tengah derasnya arus digitalisasi, aksi itu menjadi contoh nyata bagaimana keinginan untuk “viral” bisa berubah menjadi bumerang.
Menanggapi situasi tersebut, Polres Sambas bergerak cepat. Kapolres Sambas AKBP Wahyu Jati Wibowo memastikan pihaknya telah mengamankan keempat perempuan yang terlibat dalam video tersebut. Pemeriksaan dilakukan untuk mendalami motif serta konteks pembuatan konten yang kini menjadi perhatian publik.
“Kami telah mengamankan pihak yang berkaitan dengan video tersebut untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kami mengimbau masyarakat agar tidak terpancing emosi dan mempercayakan penanganan kasus ini kepada Polres Sambas,” tegas AKBP Wahyu.
Sorotan juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sambas. Ketua MUI, Dr Sumar’in, menyayangkan tindakan yang dianggap menodai kesucian bacaan agama. Ia menilai fenomena “ingin viral” di media sosial kerap membuat orang kehilangan akal sehat dan batas etika.
“Kasus ini mencederai umat Islam. Kami mengimbau agar masyarakat lebih bijak dalam bermedsos. Jangan menjadikan agama bahan candaan atau konten hanya demi viral,” ujar Sumar’in dengan nada prihatin.
MUI juga meminta masyarakat untuk tidak ikut menyebarkan ulang video tersebut agar tidak memperluas dampak negatifnya.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa di tengah derasnya arus media sosial, kehati-hatian dan tanggung jawab moral menjadi hal yang tak bisa ditawar.
Ingin dikenal boleh, tetapi menjadikan hal sakral sebagai bahan candaan adalah garis batas yang tidak seharusnya dilewati.
Makna Bacaan Ta’awudz
Ta’awudz adalah bacaan “A’udzu billahi minasy syaithanir rajim”, yang berarti “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
Doa ini diucapkan untuk memohon perlindungan dari godaan setan, terutama sebelum membaca Al-Qur’an atau ketika seseorang menghadapi situasi emosional dan negatif.
Makna ta’awudz tidak sekadar ucapan, melainkan bentuk penyerahan diri dan kesadaran akan perlindungan Allah SWT dari segala pengaruh buruk.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 98:
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”
Refleksi
Kasus di Sambas menambah deretan peringatan keras bagi masyarakat digital. Di balik layar ponsel dan tawa ringan untuk konten hiburan, ada nilai-nilai yang tak boleh dijadikan bahan permainan — apalagi menyentuh hal-hal sakral dalam agama.
Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari tanggung jawab. Dunia maya boleh luas, tapi setiap unggahan tetap memiliki konsekuensi nyata di dunia nyata. []
Fajar Hidayat
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan