Macron Kembali Dihadapkan pada Dilema Politik Prancis

PARIS – Prancis kembali diguncang ketidakpastian politik setelah parlemen bersiap menggelar mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri Francois Bayrou pada Senin (08/09/2025). Hasil pemungutan suara ini akan menentukan nasib pemerintahannya sekaligus membuka babak baru dalam krisis politik berkepanjangan yang melanda negeri itu.

Sejak menjabat, Bayrou menghadapi tantangan berat akibat komposisi parlemen yang terpecah. Tidak adanya partai yang menguasai mayoritas membuat setiap keputusan strategis selalu berujung pada tarik-menarik kepentingan. Kondisi ini menjadi semakin pelik setelah oposisi dari berbagai kubu politik bersatu menuntut penggulingannya.

Para pemimpin oposisi, baik dari sayap kiri maupun kanan, menyatakan sikap bulat menolak keberlanjutan pemerintahan Bayrou. Tokoh sayap kiri dari kelompok Prancis Tak Terkalahkan (LFI), Jean Luc Melenchon, secara gamblang menyebut bahwa pemerintahan saat ini tidak akan bertahan. “Pemerintah akan jatuh,” tegas Melenchon, dikutip Reuters.

Nada serupa juga datang dari kubu kanan. Marine Le Pen, pemimpin Partai Nasional, menuding Presiden Emmanuel Macron sebagai pihak yang memicu krisis politik berulang. “Krisis ini diprovokasi dan dipicu Presiden Emmanuel Macron dan semua orang yang pernah melayaninya,” ujar Le Pen.

Kehidupan politik di Prancis memang tidak stabil sejak Macron memutuskan menggelar pemilu dadakan pada 2024. Alih-alih memperkuat posisinya, hasil pemilu justru menghasilkan parlemen yang terbelah tanpa satu pun kubu mayoritas.

Partai berhaluan ekstrem kanan, Partai Nasional, kemudian tampil sebagai kekuatan terbesar, menyalip aliansi partai pendukung Macron yang terus melemah sejak 2022. Situasi itu membuat pemerintahan Macron kerap goyah karena setiap perdana menteri yang diangkat tidak mampu membangun koalisi yang solid.

Dalam kurun tiga tahun terakhir, Prancis sudah empat kali berganti perdana menteri. Jika Bayrou kembali gagal mempertahankan kursinya, maka Macron dipaksa menunjuk perdana menteri baru untuk kelima kalinya.

Jika mosi tidak percaya benar-benar berhasil, Macron menghadapi dilema dalam menentukan pengganti Bayrou. Banyak pihak memperkirakan ia akan menunjuk kandidat dari kalangan sosialis kiri-tengah untuk meredam kemarahan publik sekaligus menarik dukungan dari kelompok oposisi moderat. “Dia tak bisa melawan jajak pendapat untuk yang ketiga kalinya,” kata Marine Tondelier, ketua Partai Hijau.

Namun, pilihan itu bukan tanpa konsekuensi. Blok liberal yang menjadi basis pendukung Macron menolak banyak usulan dari kubu kiri, termasuk kebijakan menaikkan pajak untuk kalangan kaya. Jika Macron tetap mengambil langkah itu, ia berisiko kehilangan pijakan politik di antara sekutu tradisionalnya.

Pengamat menilai, krisis yang berlarut-larut ini mencerminkan semakin rapuhnya sistem politik Prancis. Model presidensial yang dipadukan dengan parlemen terfragmentasi membuat pemerintahan sulit bertahan lama tanpa konsensus luas.

Jika Macron kembali gagal membangun stabilitas politik, jalan keluar yang tersisa bisa saja berupa pembubaran parlemen atau pemilu ulang. Namun, langkah itu juga sarat risiko karena partai sayap kanan, terutama National Rally pimpinan Le Pen, diprediksi akan semakin kuat.

Kini, sorotan dunia tertuju pada Paris untuk menanti hasil pemungutan suara parlemen. Apakah Bayrou mampu mempertahankan posisinya ataukah Prancis kembali harus mengulang siklus pergantian perdana menteri dalam waktu singkat. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com